Madiun terkenal akan pabrik kereta apinya, brem, nasi pecel dan perguruan silatnya. Dalam kaitannya dengan perguruan silat, ada banyak padepokan pendekar di kota dan kabupaten Madiun, dan kabupaten-kabupaten di sekitarnya (Madiun Raya), seperti Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT), Persaudaraan Setia Hati Tunas Muda Winongo Madiun, dan Perguruan Ki Ageng Pandan Alas. Murid-murid dari perguruan-perguruan silat ini menyebar tidak hanya di Madiun Raya, tetapi juga di wilayah-wilayah di seluruh Jawa Timur, dan bahkan Jawa Tengah, serta luar Jawa.
Untuk memperkuat identitas dan persaudaraan, para pendekar yang tersebar di berbagai daerah tersebut mendirikan tugu-tugu perguruan silat. Biasanya mereka membangunnya dengan dana sendiri, gotong royong, dengan keikhlasan, dan dengan roso seni yang tinggi.Â
Tidak jarang beberapa pendekar dari perguruan silat tertentu membantu pembangunan tugu silat perguruan lainnya sebagai wujud saling menghormati dan persaudaraan di antara berbagai padepokan. Hasilnya adalah tugu-tugu silat yang indah, mempercantik wilayah, memperkuat identitas para pendekar (dan juga warga yang bukan pendekar), dan persaudaraan di antara para pendekar dari berbagai perguruan.
Hampir di setiap desa di Madiun Raya berdiri sebuah tugu perguruan silat, kadang tugu silat Terate, kadang tugu silat Winongo, dan kadang tugu-tugu silat lainnya. Tidak jarang orang dari luar Madiun Raya yang melintasi sebuah tugu silat, berhenti, dan melakukan selfi. Lantas mereka pasang di status WA: "Saya bangga, saya sudah di Madiun, kota pendekar."
Tugu perguruan silat memperkuat identitas dan persaudaraan, dan merepresentasikan budaya adiluhung. Dan patut dicatat bahwa keberadaan pendekar di desa-desa tidak hanya ditunjukkan oleh adanya tugu-tugu silat, tetapi juga oleh kegiatan-kegiatan sosial yang sering mereka lakukan, seperti memberi sumbangan sembako ke warga-warga yang tidak mampu.
Baru-baru ini beberapa pejabat tinggi di Jawa Timur menghimbau pembongkaran tugu-tugu silat di seluruh Jawa Timur secara mandiri karena tugu-tugu tersebut dianggap bisa memicu pertikaian di antara pendekar dari perguruan silat yang berbeda. Dalam kaitannya dengan himbauan tersebut, dengan penuh kerendahan hati, saya bermaksud menyampaikan dua pendapat.
Pendapat pertama: karena mempertimbangkan pentingnya tugu-tugu silat tersebut bagi penguatan identitas dan persaudaraan dan karena mempertimbangkan bahwa tugu-tugu tersebut melambangkan budaya adiluhung pencak silat, bagaimana kalau tugu-tugu tersebut tidak dirobohkan, tetapi ditutup dengan kain yang warnanya seragam di seluruh Jawa Timur hingga suasana kondusif?
Pendapat kedua: bagaimana kalau digalakkan program saling kunjung-mengunjungi di antara para pendekar dari berbagai padepokan silat dan program beragam kegiatan sosial yang dilakukan secara bersama-sama oleh para pendekar dari berbagai padepokan silat?
Salam hormat dan salam persaudaraan dari seorang warga Ngawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H