Mendengar dan melihat kenyataan bahwa seorang kader partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang juga sedang menjabat sebagai Bupati Lampung Selatan, Rycko Menoza, mendapat jabatan strategis dalam tubuh Partai Golkar, membuat dahi berkerut. Putra Gubernur Lampung (ayahnya juga Ketua DPD PDI-P Lampung), selain diangkat menjadi Wakil Ketua DPD I Partai Golkar Lampung Bidang Kepemudaan, juga didapuk sebagai Ketua Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) Lampung. Ini preseden dan fakta politik yang cukup mengagetkan untuk menutup tahun 2013 ini, di tengah perseteruan antara Golkar dan PDI-P Lampung pada kontestasi pemilu 2014 dan pemilihan Gubernur yang akan datang.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah alasan sebenarnya mengangkat seorang kader partai lain, yang menjadi kompetitor partai Golkar Lampung? Apakah untuk kepentingan segelintir elit partai, lalu mengorbankan perjuangan kader internal Golkar, yang sudah cukup berdarah-darah berjuang bagi kepentingan partai? Apakah Partai Golkar Lampung sudah kehabisan kader-kader terbaik untuk memimpin roda organisasinya? Apakah motifnya demi uang atau kepentingan menuju Pemilihan Gubernur Lampung yang akan datang? Dan apakah ini sebuah skenario politik untuk menghambat proses kaderisasi kepemimpinan di internal partai dan sebuah intrik politik untuk memuluskan jalan sebuah kepentingan tertentu untuk menduduki kepemimpinan tertinggi partai Golkar di Lampung?
Ada analisa sederhana terkait hal ini, bahwa Gubernur Lampung sekarang, akan memuluskan jalan ketua DPD I Golkar Lampung untuk memenangkan kursi Gubernur sebagai transaksi politik yang ditukar dengan tampuk kepemimpinan Partai Golkar di Lampung. Analisa ini sangat sederhana seebtulnya, berdasarkan pernyataan ketua DPD Golkar sendiri, seperti yang dikutip dari Metronews.com Jumat 20 September 2013 lalu. Dan juga pernyataan Wakil Ketua DPD I Golkar Lampung, Ismet Jayanegara, yang menjelaskan Rycko sudah masuk kriteria menjadi calon ketua DPD I Golkar Lampung menggantikan M. Alzier Dianis Thabranie. Dia mengatakan bahwa dalam AD/ART partai Golkar, setiap orang yang sudah menjadi pengurus satu priode berhak mencalonkan diri sebagai ketua. Namun yang Ismet lupa, penafsirannya tentang 1 tahun masa kepengurusan itu salah besar. Yang ada tertulis dengan jelas dan sudah diberlakukan sejak lama adalah 1 periode masa kepengurusan, yaitu 5 tahun. Bukan 1 tahun masa kepengurusan. Dan untuk ini, Rycko jelas tidak memenuhi syarat. Dan kalaupun dipaksakan, ini akan menjadi preseden buruk, bahwa Pengurus DPD I Partai Golkar Lampung tidak patuh terhadap AD/ART partainya sendiri.
Kemudian, beberapa contoh kasus yang bisa kita saksikan dan analisa dalam beberapa Musyawarah Daerah Luar Biasa DPD II Partai Golkar di beberapa wilayah Lampung, memang memperkuat pertanyaan terakhir di atas. Partai Golkar di Lampung termasuk sangat sering melakukan Musdalub di tingkat DPD II. Idealnya, Musdalub diadakan bertujuan untuk melakukan konsolidasi internal partai dan mempererat solditas kader partai dari tingkat Provinsi, kabupaten/Kota hingga desa, untuk memenangkan partai dalam kontestasi politik. Namun yang terjadi justru semakin memperlihatkan adanya skenario politik untuk kepentingan segelintir orang di dalam partai dan seolah memuluskan sebuah rekayasa politik untuk tujuan tertentu. Hal ini, telah membuat perpecahan di kalangan kader-kader partai Golkar di tingkat elit hingga grassroot dan bisa mempengaruhi seluruh proses konsolidasi internal dan soliditas partai untuk menghadapi pemilu 2014 dan Pilgub Lampung yang akan datang. Rekayasa politik tersebut membuat situasi menjadi semakin absurd dan terlihat semakin menunjukkan ketidakwarasan dalam logika politik, yang seharusnya kental dengan aturan dan gigih memegang dasar hukum organisasinya sendiri daripada kepentingan pribadi dan kader partai lain.
Yang lebih mengagetkan lagi adalah bahwa masuknya Rycko ke Partai Golkar dan digadang-gadang akan menjadi ketua DPD I Golkar Lampung itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) DPP Partai Golkar Nomor 294/DPP/Partai Golkar/IX/2013 tentang Pengesahan Komposisi dan Personalia DPD I Partai Golkar Lampung yang beredar di wartawan. SK tersebut menugaskan Rycko sebagai Wakil Ketua Bidang Kepemudaan DPD I Partai Golkar Lampung. Dan dengan keluarnya SK ini menambah lagi daftar anggota keluarga Ketua DPD PDIP Lampung, Sjachroedin ZP, yang masuk ke partai Golkar. Sebelumnya, dua keponakan Sjachroedin ZP telah lebih dahulu bergabung dengan Partai Golkar. Mereka adalah kakak-beradik putra Syafariah Widianti ZP, yaitu Diza Noviandi dan M Reza Pahlevi. Bahkan, Reza telah ditetapkan menjadi ketua DPD II Partai Golkar Lampung Selatan dalam musyawarah daerah luar biasa (musdalub) beberapa waktu lalu.
Terkait hal ini, kepemimpinan Partai harusnya bisa lebih bijak mempertimbangkan apakah seseorang layak diberikan jabatan tinggi di dalam partai atau tidak. Mengingat ini adalah pengangkatan yang luar biasa aneh. Seorang kader partai lain, kompetitor Partai Golkar di Lampung, yang justru pernah mengatakan di media bahwa dirinya tidak pernah melakukan apa-apa (tidak aktif) untuk partainya, diangkat untuk menduduki jabatan strategis di dalam partai dan menjadi pemimpin tertinggi di kalangan sayap anak mudanya. Lalu, apa yang bisa diharapkan atas seorang kader yang tidak pernah menunjukkan loyalitas perjuangan terhadap “Rumah Besar” yang menaunginya, kecuali ada proses transaksional yang menguntungkan segelintir pihak saja? Apalagi jika disiapkan skenario yang ingin mengedepankan ketidakwarasan organisasional dan menabrak sendiri aturan baku dengan memaksakan penafsiran sendiri atas AD/ART organisasinya. Ini semakin menunjukkan kualitas kepengurusan DPD I Partai Golkar yang tidak dewasa, tidak taat aturan dan seperti berlagak pilon menafsirkan sendiri aturan yang sudah berlaku secara umum, baik penafsiran maupun penerapannya.
Adapun bukti bahwa elit Golkar Lampung seolah tidak ingin memperhitungkan kader-kadernya sendiri yang memiliki potensi contohnya seperti, telah dilayangkannya surat usulan pergantian antarwaktu (PAW) kepada DPP Partai Golkar oleh DPD I Golkar Lampung terhadap anggota DPR RI, Riswan Tony Dalem Kiay, hanya karena Riswan Tony berniat untuk maju mencalonkan diri dalam Pemilihan Gubernur Lampung. Bukannya menyelesaikan persoalan dengan baik dan mengakomodasi inisiatif kadernya, elit Golkar Lampung justru seolah berupaya membunuh karir politik yang bersangkutan, padahal Riswan Tony jika memang memutuskan untuk maju, juga bukan tanpa pertimbangan dan perhitungan yang baik. Dinamika seperti ini sebetulnya biasa dan bisa diselesaikan dengan baik, jika kepemimpinan di dalam Partai Golkar Lampung mau untuk lebih bijak menyikapi persoalan yang ada.
Bahwa pada akhirnya, kepentingan segelintir elit, bisa sewaktu-waktu mengorbankan kepentingan partainya sendiri dan menafikan keberadaan kader-kader partai lainnya yang memiliki kemampuan dan kompetensi mumpuni untuk menjadi pemimpin partai ke depan. Pengelolaan dan perjuangan partai, tidaklah bisa berkelanjutan jika tidak didukung oleh kader-kader yang bekerja keras di setiap tingkatan. Perasaan memiliki yang berlebihan oleh elit partai dan menjadi alasan untuk berbuat semaunya dalam membuat kebijakan dan strategi bagi partai hanya demi kepentingan sendiri, menjadikan tujuan perjuangan politik yang dilakukan, hanya bermuara pada target merebut kekuasaan yang diartikan secara sempit.
Hari H pertarungan untuk memperebutkan hati dan suara rakyat semakin dekat. Konsolidasi partai di semua lini menjadi penting jika ingin mendapatkan kemenangan yang gemilang. Aktifitas-aktifitas yang positif dan membangun semangat kader untuk bekerja lebih militan, harus semakin masif dan diperbanyak. Bukan justru membuat gerakan politik demi kepentingan pribadi dan segelintir orang, lalu mengorbankan kepentingan kader-kader yang sebetulnya memiliki kompetensi yang baik untuk bekerja bagi partai dan juga memimpin partai ke depan. Preseden seperti ini, tentu bisa mematikan semangat juang para kader yang dalam perjuangannya, juga ingin bisa meniti karir ke puncak kepemimpinan di Partai Golkar Lampung melalui segala macam kegiatan yang ditujukan bagi kejayaan partai. Bukan malah ujug-ujug menempatkan seseorang yang tidak jelas loyalitasnya, tidak jelas kontribusinya bagi partai, kader dan masyarakat partai Golkar umumnya, untuk menjadi pemimpin tertinggi di Partai Golkar Lampung, hanya demi uang, kekuasaan dan kepentingan pribadi yang hanya menargetkan kekuasaan sementara, namun bisa membelenggu kemajuan partai untuk ke depan. Dan yang lebih parah, menutup kemungkinan bagi kader-kader yang berkompeten untuk bisa berbuat lebih banyak bagi rakyat dan partai serta meniti karir politik di partai Golkar Lampung ini.
Hal ini sebetulnya semakin membuktikan bahwa oligarki di dalam partai politik, khususnya Partai Golkar Lampung, tiada akan ada habisnya. Jika analisa di atas betul-betul terjadi, maka apa yang disebut sebagai dinasti kekuasaan dalam partai politik di Lampung, akan semakin kuat dan mengakar. Ya, budaya Oligarki partai di dalam tubuh PDI-P Lampung yang kita bisa saksikan hari ini, juga secara perlahan akan berpindah ke dalam tubuh Partai Golkar Lampung. Ini menjadi berbahaya bagi kelangsungan sistem kaderisasi dan organisasi partai Golkar Lampung ke depan. Karena selama ini, hampir tidak terjadi proses kaderisasi yang berdasarkan oligarki dan sistem “dinasti” pada Partai Golkar Lampung. Semua berusaha sendiri dan berjuang untuk kebaikan karir politik masing-masing di dalam internal partai.
Yang mungkin tidak disadari bahwa hal tersebut akan berimbas pada situasi dan motivasi pada kader-kader partai Golkar yang justru memilih untuk hanya bekerja demi uang, tanpa tujuan ideologis yang membela kepentingan rakyat kebanyakan. Kemudian akan ada perlawanan di dalam partai yang dilakukan oleh kader-kader partai yang loyal, yang ingin melihat partainya dijalankan dengan lebih sehat dan dengan jenjang karir yang logis dan menjamin kepastian masa depan perjuangan politik mereka di dalam partai. Atau jangan-jangan, perlawanan ini, justru akan merembet pada saat perhelatan pemilihan Gubernur Lampung ke depan. Jika saja ada tokoh alternatif yang mencalonkan diri dan dianggap memiliki kemampuan dan karakter kepemimpinan yang baik, bisa jadi para kader loyalis Partai Golkar yang selama ini bekerja dengan baik, justru mendorong perahu lain untuk memenangkan kontestasi politik tersebut. Ya, karena kekecewaan akibat kepemimpinan yang egois dan mementingkan kepentingan pribadi, hal-hal tersebut bisa saja terjadi, mengingat di Lampung, sudah mulai timbul kesadaran tentang masa depan dan pendidikan politik yang lebih baik.