Dengan mengempit buku di ketiak aq melangkah pasti menuju kelas untuk mengawas ujian. Ya aku adalah seorang guru di sebuah sekolah menengah atas yang saat ini sedang mengadakan mid semester. Aku mendapat jatah mengawas di salah satu ruang kelas. Seperti biasa dengan pasang tampang galak aku dengan mantap masuk kelas. Kelas tempat aku mengawas merupakan kelas dengan anak-anak yang mempunyai image 'sulit diatur'.
Suasana kelas hampir menyerupai pasar burung. Kicauan yang saling bersahutan sangat bising sekali. Sengaja soal dan lembar jawab tidak langsung aku bagikan, melainkan menunggu sampai mereka betul-betul tenang. Butuh waktu sekitar 7 menit untuk mereka sadar dengan sendirinya bahwa mereka harus tenang supaya soal bisa dibagi. Setelah situasi cukup kondusif, lembar jawaban segera aku bagi tetapi soal masih aku tahan. 5 menit dalam ketenangan ternyata membuat mereka resah. Mereka kembali 'beraktifitas' dan kelas mulai sedikit gaduh kembali. Aku hanya bisa melihat mereka dengan tajam. Ditenangkan pun percuma karena suaraku jelas tidak akan didengarkan. Tetapi mau tidak mau aku tetap harus menenangkan mereka.
Aku mulai pasang muka masam melihat ulah mereka. Dengan agak cemberut, soal segera aku bagi. Sesampainya pada meja salah seorang siswi perempuan, dengan tersenyum dia berceletuk, 'bu, mbok senyum to...'
Deg. Aku kaget. Kata-kata itu seperti tetesan es dalam hatiku. Seketika aq sadar aku telah salah. Kemudian aku pun tersenyum dan dalam hati aku mengucap, 'Terima kasih Tuhan, aku kembali Kau ingatkan untuk menjadi sabar melalui anak ini.'
Sikap dan tingkah para siswa kadang memang menjengkelkan hati. Diberitahu susah, maunya melakukan hal yang mereka suka. Pas pelajaran pengennya materi itu yang gampang-gampang ja. Kalau dapat materi susah, mereka akan tidur atau membuat kekacauan. Motto mereka adalah tidak perlu belajar, nilai bagus, ujian lulus. Instan, tanpa perjuangan. Kadang membuat kepala 'gedek-gedek'. Tetapi dibalik hal itu tidak sedikit mereka justru kreatif dalam hal lain. Kekompakkan dalam kerjasama, jiwa berseni yang cukup tinggi, bahkan daya cipta pun selalu ada. Hanya tinggal bagaimana diarahkan.
Tetapi yang terlihat justru adalah hal-hal negatif yang biasa mereka lakukan. Kenakalan mereka, keusilan mereka, kemalasan mereka. Itulah yang terlihat dan memunculkan image 'sulit diatur'.
Celetukan siswi tadi menyadarkan aku untuk lebih sabar, lebih bisa menjadi 'sahabat' mereka.
Aku menarik nafas panjang dan terlintas dalam pikiraku sebuah hal. Jangan menanamkan dalam diri sendiri pikiran negatif tentang orang lain.
Berawal dari sebuah senyuman, maka pikiran kita akan menjadi energi positif bagi diri kita sendiri. Ketika dalam diri kita terpancar energi positif maka sekitar kita pun akan tertular menjadi positif juga.
Dengan tersenyum akhirnya aku sampaikan ke mereka untuk mulai mengerjakan soal dengan tenang. Dan dalam hati aku berjanji untuk senantiasa tersenyum menatap dunia, karena aku yakin dunia akan membalas senyumanku selalu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H