Ditulis oleh Alya Hanifah Indriani, Nazwa Aulia Rahmah, dan Dwi Diah Fadilah (Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)
Abstrak
PPN memiliki peran penting dalam mendanai berbagai program pemerintah. Setelah pandemi Covid-19 yang berdampak signifikan pada kondisi keuangan negara, kenaikan PPN dianggap sebagai langkah strategis untuk memperbaiki situasi fiskal dan memenuhi kebutuhan anggaran yang meningkat. Saat ini, tarif PPN di Indonesia sebesar 11 persen masih tergolong rendah dibandingkan dengan rata-rata global, terutama negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang memiliki rata-rata tarif PPN sekitar 15 persen. Dengan kenaikan menjadi 12 persen, tarif PPN Indonesia diharapkan lebih kompetitif dan sejalan dengan standar internasional.Kenaikan PPN ini juga berkaitan dengan target kebijakan fiskal pada 2025. Pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar 12,08--12,77 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), belanja negara 14,21--15,22 persen PDB, keseimbangan primer 0,07 persen hingga minus 0,40 persen PDB, dan defisit anggaran sebesar 2,13--2,45 persen PDB. Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat menciptakan sistem fiskal yang lebih sehat, mendukung stabilitas ekonomi, dan memberikan landasan yang kuat untuk pembangunan berkelanjutan. Meski begitu, tantangan dalam implementasi kebijakan ini tetap menjadi perhatian, terutama dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan sektor ekonomi domestik.
Keyword : Pemerintah, 12%, Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pendahuluan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu jenis pajak tidak langsung yang dikenakan pada setiap tahap distribusi barang dan jasa. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas transaksi jual beli barang dan jasa, yang dibebankan kepada konsumen akhir namun dipungut oleh penjual yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP). PPN berfungsi sebagai sumber pendapatan negara, mendukung pembangunan infrastruktur dan layanan publik, serta mendorong pemerataan beban pajak. Selain itu, PPN juga berperan dalam pengendalian konsumsi barang tertentu dan membantu stabilitas ekonomi melalui kebijakan tarif yang berbeda untuk barang dan jasa. Sebagai instrumen fiskal, PPN memainkan peran strategis dalam menopang penerimaan negara sekaligus mengatur dinamika perekonomian.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak tidak langsung yang dikenakan pada sebagian besar barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sebagai salah satu instrumen fiskal utama, PPN memiliki peran penting dalam meningkatkan pendapatan negara dan mendukung stabilitas ekonomi. Baru-baru ini, pemerintah Indonesia akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini disetujui dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 dan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara serta mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Meskipun diharapkan dapat memperkuat keuangan negara, kenaikan ini memicu kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi di tengah situasi perlambatan. Beberapa barang dan jasa, terutama kebutuhan pokok, akan dikecualikan dari PPN. Langkah ini diambil dengan tujuan meningkatkan pendapatan negara guna memperkuat anggaran nasional serta membiayai proyek pembangunan infrastruktur dan layanan publik yang lebih baik dan menjaga stabilitas fiskal di tengah tantangan ekonomi global yang semakin kompleks.
Namun, kebijakan tersebut menuai berbagai respons dan memunculkan sejumlah kekhawatiran. Kenaikan tarif PPN menjadi 12% yang akan berlaku mulai 2025 diperkirakan akan berdampak signifikan pada daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah dan menengah. Kenaikan harga barang dan jasa akibat PPN yang lebih tinggi dapat memperburuk inflasi, mengurangi pendapatan yang dapat dibelanjakan, dan memaksa masyarakat untuk lebih selektif dalam pengeluaran mereka. Jika tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan, daya beli masyarakat akan semakin tertekan, berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kerentanan konsumsi rumah tangga. Sebagai pajak konsumsi, kenaikan PPN berpotensi meningkatkan harga barang dan jasa, yang dapat mengurangi kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Selain itu, peningkatan tarif ini juga diperkirakan dapat memicu inflasi, menciptakan tekanan tambahan pada perekonomian. Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 diperkirakan akan memicu inflasi, dengan estimasi dampak inflasi berkisar antara 0,4% hingga 4,1% tergantung pada respons pasar dan penyesuaian harga oleh produsen. Kenaikan ini dapat menyebabkan harga barang dan jasa meningkat, yang berpotensi memperburuk daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah. Meskipun pemerintah berupaya menjaga stabilitas harga melalui pengecualian pajak untuk barang esensial, dampak inflasi jangka pendek tetap menjadi perhatian utama dalam konteks pemulihan ekonomi. Kenaikan tarif PPN memicu reaksi beragam dari masyarakat dan pelaku usaha, mulai dari dukungan terhadap stabilitas fiskal hingga kekhawatiran akan meningkatnya beban ekonomi. Banyak warga, terutama dari kalangan menengah dan bawah, mengkhawatirkan dampak negatif terhadap daya beli dan biaya hidup yang semakin meningkat. Pengusaha juga menyuarakan kekhawatiran, mengingat kenaikan ini dapat menurunkan pendapatan dan gaji karyawan. Masyarakat telah melakukan berbagai protes, termasuk petisi dan seruan untuk mengurangi konsumsi. Sementara itu, pemerintah tetap berpegang pada kebijakan ini untuk meningkatkan pendapatan negara dan stabilitas ekonomi.Â
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kenaikan tarif PPN 12% terhadap daya beli masyarakat. Kenaikan ini dapat menyebabkan harga barang dan jasa meningkat, yang berdampak langsung pada biaya hidup. Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang sekitar 55-60% terhadap PDB, akan tertekan, memperlambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan risiko pengangguran di sektor informal. Jika tidak ada penyesuaian pendapatan, inflasi dapat meningkat, menambah beban pada daya beli masyarakat. Kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada tahun 2025 diperkirakan tidak akan efektif dalam meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan, dengan prediksi penerimaan tetap melambat akibat penurunan konsumsi masyarakat. Kebijakan ini berpotensi menambah beban inflasi dan mempengaruhi daya beli, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang konstruktif bagi pemerintah dalam memitigasi dampak negatif kebijakan ini.
Penelitian ini memiliki signifikansi yang luas. Dari segi ekonomi, analisis ini dapat membantu memahami dampak kebijakan perpajakan terhadap perekonomian domestik. Dari segi sosial, penelitian ini memberikan wawasan tentang dampaknya pada kesejahteraan masyarakat, khususnya kelompok rentan. Selain itu, studi ini diharapkan dapat berkontribusi pada literatur akademik terkait kebijakan fiskal dan kesejahteraan masyarakat, sekaligus menjadi acuan bagi pemerintah dan pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan yang lebih inklusif.