Jember, 21 November 2024 -- Pemerintah Indonesia dihadapkan pada tantangan besar terkait kewajiban utang yang berasal dari skema burden sharing dengan Bank Indonesia (BI) selama pandemi Covid-19. Kebijakan ini, yang tercakup dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) I-III antara Kementerian Keuangan dan BI, menjadi instrumen penting untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. Dalam periode 2020 hingga 2022, BI tercatat membeli Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp836,56 triliun untuk mendukung pembiayaan APBN di tengah krisis pandemi. Â
Namun, beban ini mulai menimbulkan dampak di 2025, saat utang pertama dari skema tersebut---senilai Rp100 triliun---jatuh tempo. Total utang burden sharing akan dilunasi secara bertahap hingga 2030. Dalam menghadapi hal ini, sejumlah ekonom memprediksi bahwa pemerintah akan memilih refinancing sebagai solusi utama. Â
Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah Redjalam, menilai opsi refinancing---atau penerbitan utang baru untuk melunasi utang lama---merupakan jalan yang paling realistis. "Pilihan yang tersedia hanya itu, kecuali kalau pemerintah berhenti berutang. Namun, jika itu terjadi, akan ada konsekuensi besar seperti pemangkasan belanja negara, penghentian subsidi, atau insentif, yang justru dapat melumpuhkan perekonomian," ujar Piter, Minggu (10/11/2024). Â
Piter juga menekankan bahwa langkah refinancing adalah praktik umum yang diterapkan berbagai negara, termasuk Jepang dan Amerika Serikat. Dengan memperpanjang tenor utang melalui penerbitan obligasi baru, pemerintah dapat menjaga likuiditas sekaligus memastikan kelanjutan program pembangunan. Â
Utang yang Terkelola dan Kebutuhan Kredibilitas
Meski beban utang negara terus meningkat, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono sebelumnya menyampaikan keyakinannya bahwa pengelolaan utang pemerintah tetap berada dalam batas aman. Dalam konferensi pers "APBN Kita" awal November, Thomas menegaskan bahwa kinerja pembiayaan negara dikelola secara efisien dan tetap terkendali. Â
"Selama pemerintah kredibel dalam menerbitkan surat utang baru dan ada yang membelinya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ini adalah mekanisme yang biasa dilakukan banyak negara," jelas Piter. Â
Namun, ruang fiskal yang semakin sempit menjadi tantangan tersendiri. Presiden Prabowo Subianto bahkan telah menginstruksikan seluruh kementerian dan lembaga untuk memangkas anggaran perjalanan dinas hingga 50% demi menghemat APBN. Langkah ini diambil untuk menjaga fokus pada pembiayaan prioritas, termasuk pembayaran utang jatuh tempo. Â
Peran Koordinasi Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan
Dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR pada Rabu (20/11/2024), Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menegaskan pentingnya koordinasi erat antara BI dan Kementerian Keuangan dalam menghadapi kewajiban utang burden sharing. Perry juga menyoroti keterkaitan antara anggaran operasional BI dan kebijakan moneter. Â