Sejak tahun 2000-an, Bank Indonesia (BI) telah mengadopsi Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai kerangka kerja kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi. Sebelum itu, BI menggunakan pendekatan Base Money Targeting yang berfokus pada pengendalian jumlah uang beredar melalui target M1 dan M2.Â
Namun, pendekatan ini dianggap kurang efektif dalam menghadapi fluktuasi inflasi dan nilai tukar. Dengan ITF, BI menetapkan target inflasi secara eksplisit dan transparan kepada publik sebagai bentuk akuntabilitas.Â
Meskipun demikian, krisis ekonomi global 2008/2009 menunjukkan bahwa ITF yang ketat kurang fleksibel dalam menghadapi dinamika ekonomi. Oleh karena itu, BI memperkenalkan Flexible Inflation Targeting Framework (FITF) yang tidak hanya fokus pada stabilitas harga, tetapi juga mempertimbangkan stabilitas sistem keuangan dengan memadukan kebijakan moneter dan makroprudensial.
Dalam penentuan suku bunga kebijakan, BI menggunakan prinsip Taylor Rule, model yang diperkenalkan John Taylor pada 1993. Taylor Rule merekomendasikan penyesuaian suku bunga berdasarkan dua variabel utama: inflasi dan output gap.Â
Penelitian Nainggolan (2004) menunjukkan bahwa pendekatan ini layak diterapkan di Indonesia karena mampu menjaga inflasi tetap rendah dan stabil sambil mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.Â
Selain itu, Taylor Rule juga relevan dengan FITF karena tidak hanya mempertimbangkan inflasi, tetapi juga output seperti pertumbuhan PDB dalam menentukan BI Rate. Transmisi suku bunga ke sektor riil melalui konsumsi dan investasi pada akhirnya akan berdampak pada output riil dan inflasi.
Integrasi Taylor Rule dalam FITF terlihat dalam keputusan BI yang disesuaikan dengan kondisi makroekonomi. Sebagai contoh, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada September 2024 memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 6,00%.Â
Keputusan ini mencerminkan respons BI terhadap prakiraan inflasi yang rendah, stabilitas nilai tukar, serta kebutuhan untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi. Melalui FITF, BI juga memperkenalkan fleksibilitas dalam bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, pengelolaan nilai tukar, serta penguatan koordinasi kebijakan dengan pemerintah.
Meski demikian, penerapan ITF dan Taylor Rule di Indonesia menghadapi beberapa tantangan. Inflasi sering kali dipengaruhi oleh faktor non-moneter seperti harga pangan dan energi, sementara volatilitas nilai tukar akibat aliran modal global memerlukan kebijakan yang lebih adaptif.Â
Di sisi lain, pentingnya meningkatkan pemahaman masyarakat tentang mekanisme kebijakan moneter menjadi kunci untuk menjaga kredibilitas. Dengan pendekatan fleksibel seperti FITF yang berbasis pada Taylor Rule, Bank Indonesia berada dalam posisi yang lebih baik untuk menghadapi tantangan domestik maupun global, sekaligus menjaga stabilitas ekonomi nasional.