Guru- guru baik di SD, SMP dan SMA sangat sibuk  mempersiapkan soal-soal untuk tekanan Ujian Nasional. Target guru adalah meluluskan siswa 100 %. sebegitu sibuknya hingga siswa seperti robot yang terus diberi latihan borongan sejak awal semester 2. Dari berbagai simulasi soal, Try Out, UCUN, Try Out sampai yang saat ini tren adalah metode Healing, Hipnoterapi samapai doa akbar. Begitu seramkah UN hingga setiap sekolah merasa perlu menggenjot anak untuk siap tidak siap harus melalui proses panjang menuju UN yang menyiksa. Pada titik ini anak seakan dibombardir dengan soal-soal yang hampir sama, dari try out satu ke try out yang lain setiap hari! Mental anak benar-benar ditekan untuk sebuah event yang cuma berlangsung 4 hari. Pendewaan UN bagi sebagian sekolah adalah gengsi, sebagian sekolah menganggap lulus UN itu anugerah, sebagian sekolah menganggap UN adalah Hantu menakutkan.
Dulu sekitar tahun 1980 -an Ujian UN tidak seseram sekarang. Ujian kelulusan adalah saringan bagi siswa jika tidak mampu yang tidak lulus jika mampu ya lolos. Lulus tidak lulus adalah sebagian resiko bagi siswa dalam belajar. Kegagalan tentu  akibat kurangnya belajar dan ketidakseriusannya dalam mengikuti tahab pembelajaran. Belajar itu sebuah proses untuk menjadi lebih dewasa. Kegagalan juga bagian dari pembelajaran. Dalam setiap tahap proses belajar mengajar ada istilah Trial dan Error. Siswa akan mencoba sesuatu dan kadang perlu merasakan kegagalan agar mereka bisa belajar dari kesalahan. Tidak lulus bukan mimpi menakutkan tapi adalah sebuah peringatan agar belajar  menerima kegagalan dengan legowo.
Rasanya pembelajaran sekarang menekan siswa untuk mengantisipasi kegagalan. Ada mitos bahwa tidak lulus itu bencana dan akan membuat gengsi sekolah turun. Banyak sekolah akhirnya berlomba-lomba secara instan agar siswanya harus lulus bagaimanpun caranya kalau perlu beli soal, mengadakan operasi senyap untuk mencuri kunci jawaban UN atau maraknya praktek joki jawaban UN.
Dalam satu semester pembelajaran selama 3 tahun rasanya sia-sia belaka. Sebab dalam rentang waktu pendek tersebut siswa dipaksa belajar melebihi kapasitasnya(sampai muntah-muntah kasarnya). Pembelajaran proses melayang seperti makanan tren sekarang yang laku adalah pendidikan instan,mie instan Junk Food makanan cepat saji yang menyimpan potensi bahaya laten lain.
Ada banyak siswa bertumbangan sebelum akhirnya mampu menempuh ujian berlabel Nasional. Standar nasional menjadi momok karena sebetulnya tidak adil menyamakan soal kepada semua sekolah di seluruh Nusantara. Tentu beda anak Pedalaman Papua dengan anak kota Jakarta yang segala pengetahuannya bisa di dapat dengan mudah. Juga SDM yang berlimpah memudahkan anak kota Jakarta mencari materi soal. Beda dengan mereka yang tinggal di pedalaman untuk akses internet saja susah, menemui buku-buku berkualitas juga tidak gampang lalu bagaimana bisa disejajarkan dengan  anak Jakarta. Anak Jakarta bisa didrill soal-soal yang tersedia dengan mudah setiap hari sedangkan mereka yang kebetulan hidup dipedalaman aharus pasrah menunggu garis nasib. Bila lulus adalah anugerah besar bila tidak lulus mereka harus melalui tahap ujian untuk mendapatkan jatah paket C.
Apakah Reward Ujian Nasional sebanding dengan pendidikan karakter yang sekarang ini ada dipersimpangan jalan. Banyak anak pintar, kuat menghadapi ujian-ujian berat sekolah tapi tidak cukup kuat menerima kenyataan oleh ujian sesungguhnya dunia kerja. Banyak anak cerdas tapi  cacat karakter hingga mereka yang cerdas tidak bisa dikatakan berkorelasi dengan kesuksesannya dalam hidup.
Ujian teoritis hanya menyentuh  sekitar 10-30%  jaminan kesuksesan hidup selebihnya adalah mental tangguh yang mampu menahan gempuran ujian sesungguhnya di kehidupan nyata. Dengan kenyataan pembelajaran instan seperti sekarang ini kemampuan organisasi yang jeblok , modal sosial yang rendah membuat anak rawan dimanfaatkan oleh kondisi psikologis. Tekanan yang besar membuat anak gampang frustrasi, susah menerima kenyataan bila suatu saat menemui kegagalan.
Ujian UN sekarang  ini seperti simulasi. seperti sebuah permainan yang sebetulnya sudah ada cuma dengan tekanan berat yang dibebankan siswa membuat ujian seperti sebuah ajang pertaruhan yang maha berat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H