Terus terang saya bukan pengagum anda berdua, kami sekeluarga adalah pengagum Ahok dalam segala rekam jejak kerjanya. Istilahnya jatuh cinta dengan kinerja Ahok dan Jokowi. Ketika putaran kedua perolehan suara anda tidak terpaut jauh dengan Ahok saya memang sudah pesimis Ahok akan menang. Meskipun begitu saya tetap berdoa agar Ahok bisa menang meskipun tipis. Ternyata dinamika politik memang amat cepat, isu-isu berkembang luar bisa, di perbincangan media sosial, perang kata-kata seperti hendak meruntuhkan dunia. Rasanya saya bisa merasakan adanya aroma perseteruan kucing dan anjing, demikian dahsyatnya sampai meruntuhkan sendi-sendi moral yang dibangun dan dicita-citakan Presiden dalam nawa cita. Warga DKI terbelah antara membela kemajemukan, kebinnekaan dan aroma fanatisme agama berbalut radikalisme yang berkembang subur di ibu kota yang terkenal dengan banyaknya kaum intelek. Ada istilah kaum bumi datar, sumbu pendek, Aseng, China Kafir, Antek Cina, kaum sipit dan segala kata-kata SARA yang memberondong hampir semua media. Mediapun terbelah.Saya sampai pusing membaca, melihat, mengamati media-media yang tidak netral yang terus membakar emosi warga untuk selalu mengobarkan api peperangan antar tetangga, antar teman, antar saudara.
Saya melihat media sosial telah menjadi setan jahat bagi persaudaraan umat manusia, semua terpecah, saling sengkarut dan mengobarkan semangat primordial. Polarisasi, faksi, memaki, menyebarkan berita bohong, klaim kesucian, tentang agama dan kaitannya dengan politik praktis. Yang rajin berdoapun akhirnya tergiring untuk melakukan kekerasan verbal atas nama agama. Semua merasa berhak atas surga yang belum pernah mereka kunjungi(hanya dari cerita, keyakinan dan pengandaian, sebab siapa yang pernah merasakan surga kecuali orang yang sudah mati).
Kadang lucu melihat warga berkhayal, menjadi hakim untuk orang lain, menjadi pengadil untuk orang-orang yang belum tentu salah hanya dari media. Kuping yang hanya mendengar dan melihat dari pihak kedua, ketiga tapi merasa yakin bahwa yang telah dilakukan orang itu salah. Mudah sekali manusia menghakimi. Kadang manusia menjadi lebih konyol dari hewan yang hanya mengandalkan naluri untuk hidup dan bertahan hidup.
Jakarta itu belantara, Pak , penuh preman, penuh penjahat, bajingan dan teman-temannya. Kadang senyumanpun tidak mempan menghalau kejahatan yang sudah ada dalam pikiran. Digertak apalagi akan semakin ngelunjak. Maka saya maklum jika Ahok amat keras terhadap Jakarta. Yang masih saya ingat pada Gubernur Jakarta yang manis-manis, sebutlah Tjokropranolo, Suryadi Sudirja, Fauzi Bowo tidak meninggalkan jejak yang bisa dikenang warganya,tapi lihatlah Ali Sadikin, Sutiyoso, Ahok mereka cukup ganas dalam melakukan pendekatan terhadap warganya dan nyatanya mereka (warga akan lebih ingat akan jejak kerjanya).
Saya tidak meremehkan kapasitas anda. Anda itu potensial dan cerdas, sukses dalam karya dan karier, tapi tidak usah terlalu manis jika berhadapan dengan preman atau orang yang berlagak ulama tapi bermental preman. Jaga jarak dan rangkul semua warga tanpa terkecuali. Jangan mau didikte oleh taipan-taipan yang hanya ingin mengambil keuntungan agar bisnisnya lancar dan tidak banyak kena pungutan. Enak saja, semakin punya duit seharusnya kesadaran bayar kompensasi juga semakin besar. Maaf-maaf juga pertimbangkan semua fasilitas yang di kasih gratis oleh para konglomerat itu, jangan mau terpancing untuk sekedar balas budi, sebab bisa-bisa sebenarnya fasilitas gratis dan servis pengusaha itu hanya modus.
Terus terang saya kecewa berat ketika ahok tidak terpilih tapi ya sudahlah. Tuhan punya rencana lain untuk bangsa ini. Mungkin jika Ahok menang gelombang demonstrasi masih akan muncul berjilid-jilid dan tentu kasihan dengan warga Jakarta yang selalu resah, cemas, gelisah oleh tamu menyemut yang hendak memaksakan kehendak atas keentingan warga Jakarta. Yang seharusnya kerja jadi terganggu karena gelombang demonstrasi itu telah membuat repot warga.
Masalah agama memang amat sensitif dan membingungkan. Di satu sisi agama itu adalah pembawa pesan damai dan kasih sayang, tapi di sisi lain agama itu pemicu dan pemantik kebencian, perang dan gelombang demonstrasi. Agama menjadi api yang siap membakar apa saja jika diberi pancingan bara kebencian, iri, dengki dan dendam kesumat. Maka jangan heran jika idealnya visi dan misi agama itu wujud kampanye kasih sayang, namun ternyata adalah pengobar peperangan paling utama.
Oke, kami percayakan Provinsi ini pada anda berdua, semoga tetap mengapresiasi kinerja Ahok yang luar biasa menurut saya dan sekeluarga. Tugas anda sekarang adalah menyiapkan transisi kebijakan yang selaras dengan pendahulu anda. Jika kebijakan pemimpin sebelumnya itu baik silahkan teruskan dan perbaiki dan tingkatkan di masa yang akan datang. Tapi jika ternyata janji yang amat menggebu itu hanya pepesan kosong, hanya karena trik kampanye, sebagai rakyat kami mencatat, silahkan berbusa-busa di kampaye pemilihan Kepala Daerah atau bahkan Presiden. Kami sudah mencatat dan mengamati. Kami akan mengirimkan kritik untuk perbaikan diri. Lihat saja kiriman bunga untuk Ahok. Itu adalah wujud cinta warga terhadap pemimpinnya walau cuma sebentar. Jejak yang hanya sekelebatan mata itu tetap akan menjadi sejarah yang tidak akan terlupakan. Lihat saja berapa karangan bunga yang tergelar di balaikota. Maaf haters Ahok jangan nyinyir. Sumbangan itu adalah tulus, itu wujud apresiasi tulus dari warga yang ingin mengucapkan terimakasih karena jasa Ahok yang bisa dirasakan. 70 % mereka mengapresiasi kinerja Ahok dan rata-rata puas. Kalau ada kekurangan ya wajar karena, pekerjaan rumah untuk Ahok dan Djarot sebetulnya masih banyak tapi karena warga sudah memilih pemimpin baru maka beban itu akan pindah ke kalian berdua. Ahok Djarot telah menetapkan standar tinggi untuk Jakarta, kewajiban anda adalah bekerja lebih keras, lebih spartan dan kalau perlu”Lebih gila”. Bisa?
Kami tunggu-janji-janji kampanye anda!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H