Susah dipercaya Aceng Fikri bisa melenggang manis masuk ke Senayan sebagai DPD perwakilan dari Jawa Barat. Masih terngiang oleh kelakuannya yang mengawini seorang gadis lalu dalam waktu cuma 4 hari lalu diceraikannya. Sebuaah perilaku yang mencoreng harga diri perempuan. Bekas bupati Garut itu itu rupanyaa tidak menyerah untuk tetap menjadi orang kuat yang yang mengandalkan basis massa. Dia mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD wilayah Jawa Barat. Entah trik apa yang dipakai sepertinyaa wargaa Jawa Barat amnesiaa terhadap kelakuan buruk Aceng Fikri. Rupanya teori rekam jejak bagi politikus tak sepenuhnya mempan di Jawa Barat. Mereka meraih kursi Senayan.
Saya yakin banyak kisah yang terjadi mirip dengan kelakuan Aceng Fikri bisa direkomendasikan lagi menjadi wakil rakyat di Senayan. Kekuatan uang, pendekatan dengan cara mempengaruhi masa dengan menjanjikaaan sesuatu hingga iming-iming kesejahteraan bagi konstituennya rupanya masih manjur untuk wilayah dengan daya akses komunikasi yang rendah. Pemilih tradisional yaang cenderung mau dipengaruhi dengan iming-iming uang tetap saja menjadi lahan subur para Caleg. Aceng Fikri memanfaatkan betul tipikal para pemilihnya.
Apa yang terjadi ketika perilaku negatif diperlihatkan lagi di Senayan. Mereka yang terpilih dengan rekam jejak tidak jelas tentu akan membuat masyarakat bertanya mau bersuara apa mereka di Senayan. Kemenangan mereka para Caleg tentu telah menyesaaaakkaan jika kitaa bisa membayangkaan keseluruhan dana yang telah dikeluarkaan untuk bisa masuk menjadi aanggota Dewan. Trilyunan rupiah terbuang untuk ratusan kursi Senayan.
Rakyat minta ada progress baru dari wakil rakyat untuk tidak lagi bagi-bagi proyek, sekedar datang rapat, terima amplop lalu kabur. Rakyat berharap mereka bekerja keras menuntaaskan penggodogan UU yaang terbengkalai karena sibuk kampanye untuk kembali lagi ke Senayan. Mereka para wakil rakyat masih punya utang kepada raktyaat untuk membenahi karut maarut parlemen yaang diibaratkan hanya sebagai tempat untuk dagang sapi, menjadi joki ketenagakerjaan, memeras perusahaan besar untuk kepentingan tidak jelas, Â berbagi proyek untuk semakin memenuhi pundi-pundi keuangan mereka.
Suara mereka adalah suara rakyat bukan suara pribadi yang berharap akan ada peningkatan status sosial, pekerjaan tetap dan peluang mengeruk kekayaan negara. Semoga perilaku untuk bergonta-ganti pasangan dan mengabaikan peraturan perundang-undangan terkubur rapat bersama kerja keras mereka memoles negeri ini menjadi negara disegani dan mampu bersaing di tingkat global.
Kembalikan posisi politik sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan rakyat bukan untuk saling jegal menjegal kepentingan. Kalau mereka berulah tunggu saja rakyat akan berbicara dan tidak segan-segan merekomendasikan mereka keluar dari Senayan atau sebagai anggota dewan dan diseret dihadapan hukum sebagai pertanggungjawaban mereka terhadap pengkianatan kepercayaan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H