Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Harus Menjadi Teroris?

19 Januari 2016   11:59 Diperbarui: 19 Januari 2016   12:51 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertanyaan itu mungkin menjadi milik banyak orang. Tapi tidak semua orang punya dalil sama untuk mengutuk terorisme. Terorisme sebuah kata yang termasuk dalam kata terpopuler abad ini. Terorisme akan menjadi semacam cita-cita bagi orang yang sudah dimasuki faham "sesat pikir". Mereka tidak lagi takut akan dosa dan sesal telah membuat orang lain ketakutan. Teroris adalah orang yang dengan ideologi unik telah merambah pola pemikiran "anti mainstream". Bayangkan saja banyak teroris tidak takut mati, tidak takut dihukum, ataupun tidak takut badannya terbelah dan hancur karena bom yang tertanam dalam tubuhnya. mereka bahkan tersenyum dalam kematian yang bagi mereka indah. Indah telah sukses mencederai banyak orang, telah menghilangkan banyak nyawa, telah memberi anugerah kesedihan dan trauma. 

Jalan surga telah ada di depan mata. dengan menenteng ransel berisi rangkaian bom dan granat, dengan keyakinan akan segera menjadi pahlawan bagi komunitasnya atau dengan keyakinan diri bahwa mereka adalah barisan tentara berani mati yang tengah menuju kebahagiaan gilang gemilang karena telah sukses meneror kehidupan banyak negara, banyak orang yakin dengan jalan hidupnya. Banyak orang yang sengaja meninggalkan keluarganya masuk dalam organisasi yang telah dibaiat untuk menjadi militan dalam totalitas tertinggi. Mereka adalah sel-sel yang siap berkembang biak dengan cepat dalam masyarakat yang tengah lumpuh moral dan spiritualnya. Genderang perang terus bergema, meluluhlantakkan kebangunan peradaban yang semakin surut ketika berbicara tentang simpati, empati dan toleransi. Siapakah engkau jika tidak sesuai dengan keyakinan, siapakah kamu yang tidak satu visi. Kamu hanyalah angin, kamu hanyalah onggokan debu yang siap disapu dan dienyahkan. Jika kamu melawan keyakinan maka kamu adalah target utama untuk dilenyapkan. 

Teroris itu semacam kanker, yang siap merusak jaringan tubuh. Suatu saat sel-sel itu akan berkembang biak menjadi predator mematikan. Pada manusia yang sering mencaplok hak orang lain, atau pada peradaban yang semakin menipis, meskipun keukeuh menjalankan dogma agama, tapi banyak orang tidak sadar agama telah mengajarkan kekerasan, agama telah memantik api perang dan menabur dendam kesumat. Terorpun datang saat agama tidak benar benar di resapi sebagai pembawa damai, pembawa angin sejuk dari hakikat bahwa sebenarnya agama adalah sumber "Kasih", bukan sumber kebencian.

Kenapa Harus menjadi Teroris?Itu pertanyaan mudah tetapi susah untuk dijawab. Pertanyaan lain mengapa agama melahirkan terorisme, pertanyaan itu adalah PR bagi pemuka agama, Pemangku kekuasaan, juga refleksi bagi rakyat jelata. Teror telah menjadi tontonan, sahabat, tetangga, ideologi, trending topik. teror pun telah mencapai popularitas bahkan ada donatur yang siap mendanai. Luar biasa.

Kenapa terorisme harus ada, mungkin manusia akan flashback kembali ke masa lalu, ke sejarah peradaban manusia, ke kisah Adam dan Hawa, ke Konspirasi jahat dan perjuangan Nabi untuk memangkas kekejian manusia menuju jalan Tuhan. Ap[a hasilnya. Sepanjang sejarah, konflik, perang, perebutan kekuasaan, pembunuhan, teror selalu melekat dalam kehidupan manusia. Lalu mengapa manusia harus gembar gembor melenyapkan terorisme bila sepanjang sejarah mansuia tidak akan pernah bisa melenyapkan teror tersebut.

Abad demi abad berlalu dan manusia tetap ada yang jahat, pun dalam pencarian spiritualitasnya manusia terus berperang atas nama agama, atas nama ajaran dan doktrin agama. Padahal inti dari ajaran agama itu "Kasih". Kembali ke diri sendiri, sudahlah mungkin yang terpenting adalah mengontrol diri, tidak ikut-ikut arus, tidak terlalu percaya pada tawaran dan janji-janji manis dalam menciptakan "surga". Apapun agama sel-sel fundamentalisme itu ada dan selalu melekat selagi manusia tidak benar-benar mengerti untuk apa berdialog, membangun relasi, mengembangkan sifat toleransi, membiarkan teman, saudara, sahabat hidup dalam kebebasan memeluk agama. Banyak agama terjebak dalam lingkar pemaksaan ideologi. Banyak indoktrinasi yang meresap pada akar nalar manusia yang akhirnya menjadikan mansuia punya pemahaman berbeda meski dalam satu agama yang sama. Bibit radikalisme itu ada karena manusia ingin menonjol, ingin dihargai sebagai pahlawan, pejuang yang yakin bahwa kepercayaannya yang terunggul, bahwa dirinya adalah manusia super yang bisa mengubah dunia dalam genggamannya.

Abad Media Sosial

Cuitan , status, Meme, blog dan segala rupa di media sosial telah memberi gambaran betapa manusia abad ini adalah penganut rasionalisme. Tapi di samping ilmu-ilmu praktis yang berkembang. Agama-agama Samawi juga terkungkung oleh tafsir-tafsir berbeda oleh pemuka agama. Ada pemuka agama yang menanamkan radikalisme dalam mempertahankan kebenaran agama miliknya. Ada manusia pemeluk agama taat tapi ada bibit kesumat dan dendam yang tak pernah surut yang sengaja terjun dalam kelompok-kelompok khusus yang bergerak untuk merusak tatanan perdamaian di antara orang-orang yang beda suku, beda agama, beda ideologi. Penulis menjadi ingat apa yang telah dikatakan oleh Barbara Wootton(Testamen for social Science): Kisah sejarah yang karut dan bengis telah ditulis dengan irasionalitas manusia, dan lapisan tipis-rapuh peradaban yang telah terbentuk dengan susah payah di atas permukaan gundukan berdarah itu senantiasa dibangun dengan nalar.

Teror dan terorisme sudah pernah ada dan tetap ada. Nalar manusia telah membentuk ideologi, dan diantara milyaran isi kepala orang ada kesamaan yang membuat mereka mencoba menyatukan visi hingga terbentuk Network dan akhirnya mampu merusak tatanan, karakter dan kebudayaan. Manusia akhirnya tidak pernah bisa melepaskan kekejian karena bagaimanapun jika terpepet maka amarah dan bisikan setan lebih menggelora daripada hanya menjadi peniru, plagiat. Pertanyaan yang tak pernah terduga: Apakah Fungsi inti Teroris ada karena ada Dengan canggihnya mobile phone, kecepatan aksespun berubah, jika penulis datang dari masa lalu maka manusia berani menolak.

Bahrun Naim, Santoso, Afif, tetap akan hadir ketika kebudayaan mengalami degradasi. Ketika orang terserap, tersihir, terseret dalam arus individualisme, apatisme dan berbagai ragam sihir hedonisme, plagiat bagi modernitas dan hanya memakan mentah- mentah modernitas tanpa alas spiritualitas yang kuat dari dalam diri maka guncangan sosial, tawaran menggiurkan tentang masa depan yang bergelimang kemenangan ideologi, membuat manusia gampang terbaiat untuk masuk dalam jaringan ekstrem dan radikal. Radikalisme lahir karena manusia tidak cukup kuat menerima perubahan, tidak cukup kuat mempertahankan kultur yang terbangun indah di sekitar manusia dan alam semesta. Maka ketika serbuan modernitas deras mengalir manusia tergagap dalam budaya dan masuk dalam komunitas cyber yang abu-abu, serba tidak jelas. Karena tidak jelas maka manusia meraba-raba mencoba mengikuti hinggu akhirnya malah terjebak sangat dalam dan susah keluar lagi dari jaringan yang teramat kuat mengikat.

Banyak manusia yang menamakan diri manusia modern jauh meninggalkan etika, jauh menggampangkan kata sehingga  kata yang tercetak dan terpublish itu tak pernah terfilter, spontan mengalir dan menjadi konsumsi publik. Banyak manusia akhirnya boleh memaki,  boleh berkata kasar dan boleh menampilkan vulgaritas.Akhirnya bungkus agama hanyalah suara gemericik lirih di tengah deru mesin teknologi yang memekakkan r telinga dan nurani. Radhar Panca dahana(budayawan;Opini Kompas 18 Januari 2016) menilai mansuia telah sampai tahap apatis, tidak peduli pada tatanan sosial, tidak lagi peduli pada hiruk pikuk media sosial yang centang  perenang, mereka hanya berpikir untuk diri sendiri tidak peduli pada nilai-nilai kegotongroyongan yang pernah menjadi entitas budaya negeri ini, Orang tidak lagi mengenali bahasa asalnya, kebudayaan nenek moyangnya. Kembalilah ke habitat di mana kita sangat kagum pada nilai nilai keadaban masa lalu yang begitu menyatu dengan alam dan menyayangi keberbedaan. Kembali ke keutamaan kembali pada Pancasila. Local genius.

 

Ilustrasi:Corat coret di atas papan Tulis karya Ign Joko Dwiatmoko.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun