Ketika saya menulis tentang kondisi bangsa ini saya bingung , harus memihak siapa. Kata hati nurani , lihat, resapi, pikirkan dengan logika dan lihat dengan matahati bukan dengan mata emosi yang selalu mampir di laman komentar netizen yang hwarakadah. Bayangkan semua binatang, semua makian, semua ujaran kebencian, tidak terfilter.padahal mereka berangkat dari pemahaman agama yang (dalam), hapal luar kepala ayat-ayat suci, selalu rajin berdoa, selalu mengkaji ilmu agama, bersitekun dalam doa dan mengaku dekat dengan Tuhan dan yakin masuk surga.
Saya pun bisa dibilang begitu, secara kultural saya meyakini agama sayalah terbaik karena dari bayi sampai dewasa dan menjelang tua ini hanya mengenal agama lahir saya. Tentunya ada fanatisme pribadi terhadap agama saya. Buah kesombongan saya adalah jarang berinteraksi dengan teman-teman beda agama yang berindikasi dan berpaham radikal, karena takut terjadi apa-apa. Itu kebencian normal karena rasanya ada sekat agama yang membuat manusia menjadi berjarak antara satu dengan yang lain. Hasil dari pemahaman agama yang sempit itu melahirkan kesombongan yang terbawa dalam kehidupan sehari- hari pun dari kata makian terhadap”musuh”, terhadap kelompok lain yang berseberangan dengan ideologi saya.
Di media sosial sekarang ini, terutama di whatshap, facebook orang ramai membuat share artikel, tentang kejelekan pejabat ini, pejabat itu, gubernur ini gubernur itu, mentri ini mentri itu, ustadz ini ustadz itu pastur ini pastur itu. Semuanya dibahas dan semua di buat pro kontra seperti sinetron Indonesia yang jarang menuntun tapi memprovokasi untuk membuat pembedaan. Dengan riuhnya komentar dipastikan blog, website, platform blog akan kebanjiran netizen otomatis akan mengundang pengiklan datang. Dunia maya sudah memulai genderang perang antar manusia, dengan rangkaian kata-kata, syur, kasar, provokatif, sarkastis, out of The Box, nyinyir, lebay, alay. Semua bergerak entah bani taplak, bani bumi datar, gerombolan penuduh PKI, ormas penyuka keributan, organisasi penyuka sejenis, partai pengobar semangat keseragaman dan pencetus cita-cita menjadikan bumi ini satu negara, satu tujuan, satu agama, tanpa demokrasi, penyuka poligami, penyuka kehidupan malam, penyuka korupsi sebagai bagian dari iman.
Sayapun masuk bagian pembaca, yang kadang gatal untuk komentar, gatal untuk ikut memaki dan terangsang untuk melihat chat-chat mesum yang mengundang birahi manusia. Duh, berseliwerannya gambar-gambar di dunia maya membuat manusia terjebak dalam pilihan sulit. Mau menutup mata, tapi iblis yang ada dalam tubuh ini mengatakan:
“Sudahlah jangan terlalu idealis, toh kamu manusia normal yang punya libido dan hasrat sexual.”
“Tapi, ajaran agama saya mengatakan tidak boleh melihat gambar-gambar seronok yang tidak sesuai dengan ajaran agama.”
“Ah, Bulsyit apakah junjunganmu(guru agama) tidak pernah sekalipun berpikiran seronok. Toh mereka manusia juga yang normal ingin melihat keindahan tubuh terutama lawan jenis.”
“Justru kadang guru agama itu yang membuat kita penasaran kenapa tidak boleh bicara tentang porno aksi-porno pikir.”
“Nah semakin manusia dilarang akan tumbuh rasa penasarannya. Jadi biarlah tidak usah dicegah, kalau ingin melihat ya lihat saja, hanya kendalikan nafsu untuk tidak terlalu menggebu menumpahkan gelora dengan merusak atau membuat lawan jenismu tersinggung”
“Maaf saya gagal paham, apa maksudmu?”
“Setiap manusia punya obsesi, punya fantasi dan punya nafsu sexual. Akal manusialah yang membuat aturan-aturan main. Ya lembaga pernikahanlah, agama, moralitas, etika yang membuat manusia terkotak-kotak dalam dosa, kriminalitas, kejahatan sexual. Awal mula manusia ketelanjangan itu bukanlah pornografi, ketelanjangan itu wajar karena laki-laki dan perempuan memang dilahirkan beda. Jenis kelaminnya beda, bentuk tubuh berbeda dan organ-organ tubuh manusia laki-laki dan perempuan memang tercipta beda. Tubuh laki-laki diciptakan untuk menyempurnakan tubuh perempuan. Dan kolaborasi keduanya menghasilkan harmoni. Adam dan Hawa baru merasa malu ketika iblis memperdaya Hawa dengan tawaran kenikmatan dunia dan akhirnya mereka merasa malu terhadap diri sendiri dan menutup auratnya, tapi di sisi lain hasrat sexualnya tumbuh dalam sekat-sekat aturan norma dan ranah hukum.”