Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dilema Guru Menghadapi Arus Intervensi Hukum Perlindungan Siswa

7 April 2025   13:17 Diperbarui: 7 April 2025   13:17 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar korankaltim.com

 Sebelum 1990-an guru adalah aktor sentral dalam pembentukan karakter siswa. Orang tua menyerahkan pendidikan dan pembelajaran di sekolah kepada guru sepenuhnya. Ibaratnya mau di hajar, dipukul dan dihukum keras sampai pingsan jarang orang tua yang komplain.

Pembelajaran Zaman Dulu

Waktu SD pernah suatu ketika pas istirahat kedua pergi ke sungai, menyusur sungai jernih yang berada sekitar 100 meter dari sekolah, Saking asyiknya main air sampai baju basah dan tiba-tiba ada lobang di dekat batu besar hingga akhirnya saya dan teman saya sempat tenggelam dan celana dan baju kuyup. Akhirnya kami kembali ke sekolah.

 Di sekolah guru matematika yang terkenal killer dan galak sudah menunggu. Kami, dijambak, diplintir jambang kita sampai teriak kesakitan. Tapi kami merasa hukuman guru itu memang setimpal dengan kenakalan kami yang pergi main ke sungai tidak ijin ke guru. Hukuman fisik itu biasa, dipukul ya seperti pemandangan sehari-hari, tapi banyak orang tua merasa puas dengan metode pendidikan guru yang tegas dan berani menghukum tanpa takut ada intervensi orang tua.

Guru bisa leluasa membentuk karakter siswa, menegakkan disiplin tanpa takut mendapat gugatan hukum, belum ada lembaga komnas HAM yang begitu protektif terhadap hak anak. Gampang menggugat dan memperkarakan guru karena menghukum secara fisik.Dulu sih baik-baik saja. Malah setelah besar penghormatan kami pada guru tetap besar meskipun ingat dulu betapa galaknya guru tersebut.

Pendidikan Zaman Sekarang

Kini, banyak kasus kekerasan di blowup. Banyak yang menuding guru menjadi biang dari kekerasan fisik tersebut, padahal seharusnya media harus berimbang , mencoba melihat, menelusur, menyelidiki kenapa guru melakukan kekerasan fisik. Pasti ada sebabnya. Guru pasti tidak sembarangan menghukum kalau tidak ada akumulasi masalah yang membuat akhirnya guru melakukan tindakan keras agar siswa jera.

Sayangnya sekarang siswa bisa menjadi besar kepala karena selalu ada pembelaan dari orang tua. Kalau ada sentuhan, hukuman fisik, terkadang siswa mendramatisir kasusnya sehingga guru menjadi aktor tertuduh yang bisa jadi terkena pasal kekerasan terhadap anak.

Begitu  banyak anak  manja yang menjungkirbalikkan fakta hingga akhirnya yang tertuduh adalah guru. Tentu saja pendampingan, perlindungan pada anak itu penting, tetapi jika terlalu protektif pada anak terutama orang tua zaman now yang ebgitu takut jika anaknya tersentuh, dihukum dan mendapat perlakuan kasar hingga menganggap bahwa apa yang dilakukan guru yang sebetulnya adalah mendisiplinkan anak menjadi kasus pelecehan dan kekerasan terhadap anak LBH , komnas anak, melakukan intervensi terlalu dalam kebijakan pendidikan dan pembelajaran pada anak.

Pasal Perlindungan Siswa dan Dilema Guru

Senjata LBH adalah undang-undang no 35. Tahun 1914  Di mana anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan. Dalam pasal 54 UU/35/2014 disitu terdapat pasal yang mewajibkan anak mendapat perlindungan dari kekerasan phisik maupun verbal, jika melanggarnya bisa dihukum dan didenda cukup berat (72 juta). Di pasal 76 C tertera pernyataan Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak. Dalam pasal itu kekerasan dijelaskan yaitu kekerasan phisik, kekerasan verbal, kekerasan psikologis dan kekerasan seksual. Efek trauma terkena hukuman bisa berdampak pada psikis, akademik (penurunan prestasi akademik) dan juga trauma yangberhubungan dengan sosial.

Pasal pasal itu mengatur tentang perlindungan siswa, namun ada hal yang harus berimbang juga yaitu perlindungan hukum untuk guru sebagai bagian dari konsekwensi resiko mengajar. Guru menghadapi ancaman dari pasal-pasal dari undang-undang yang dibuat sejak zaman Belanda. Hanya sekarang tampaknya orang tua yang sangat protektif pada anak kurang nyaman jika harus menyerahkan semua kebijakan pendidikan pada guru.

Guru tidak  lagi leluasa mengajar, ada rasa takut, jika memarahi, menghukum dan membuat efek jera pada siswa. Akibatnya kenakalan siswa tidak terkendali, jika hanya berteriak-teriak saja tanpa menghukum, anak sekarang ini tidak lagi mempan jika hanya dimarahi dengan cara-teriak-teriak. Memang bentuk hukuman itu bisa penuh inovasi, tidak perlu hukuman phisik,  bisa dengan tambahan penugasan. Namun yang dihadapi guru itu kompleks, bukan hanya satu dua orang. Rata-rata sekolah di Indonesia satu kelas bisa 30 sampai 40 siswa. Jika mereka berulah dan guru hanya teriak-teriak tanpa menghukum maka guru akan kewalahan sendiri.

Jika sekarang guru akhirnya cenderung cuek, masa bodo terhadap kelakuan siswa yang nakal, apalagi jika anak tersebut selalu dibela orang tuanya, dan dengan gampangnya emlapor ke Komnas HAM hanya karena hukuman phisik gru, bagaimana wajah pendidikan Indonesia ke depan. Mereka (siswa) mungkin semakin pintar, namun mentalnya begitu lemah menghadapi masalah, gampang bosan dan terlalu dimanjakan oleh kemudahan teknologi dan pembelajaran yang tidak mengkondisikan agar siswa bisa mandiri dan kuat menghadapi terpaan masalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun