Meskipun terjadi kenaikan harga beras, tidak lantas membuat petani pesta pora atau diuntungkan dari mahalnya harga beras. Mekanismenya tidak seperti tergambar dilapangan. Dari dulu, permainan tengkulak, pedagang, bulog dan oknum pemerintah selalu yang diuntungkan sedangkan petani "biasa saja". terutama petani yang hanya mempunyai sepetak dua petak sawah.Â
Biaya untuk proses pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan akhirnya tahap panen kalau dihitung malah sering membuat petani "buntung". Bayangkan harga pupuk melambung, pedagang membeli beras dengan harga terendah, utang-utang untuk pembelian bibit dan pupukpun belum bisa menutup biaya produksi. Maka banyak petani sekarang sering mencari tambahan pekerjaan selain bertani. Ada yang nyambi jadi tukang bangunan, buruh serabutan, berdagang kecil-kecilan bahkan ada yang merantau ke kota untuk menjadi kuli bangunan atau tukang gali tanah.Â
Jika dikalkulasi panen hanya memberi sedikit penghiburan pada petani, memang ada rasa bangga ketika panen, melihat hamparan padi yang menguning, membayangkan panen yang akan segera dinikmati. Itu kebahagiaan kecil petani, tetapi setelah bisa menjual padi mereka akan kembali menghitung ulang. Masih banyak utang dari rentenir, dari bank dari saudaranya yang harus dikembalikan. Jika ada keuntungan hanya sedikit sekali tidak bisa menjamin sampai panen berikutnya tiba.
Maka petani harus putar otak, mencari penghasilan lain ketika masa jeda panen sampai masa tanam lagi. Banyak diantara teman-teman saya di kampung yang nyambi sebagai tukang ojek, menambang pasir, dari sungai di Pabelan (Magelang). Â Sebagian bisnis kletikan atau sejenis makanan kering. Yang ulet mereka bisa mengembangkan usaha dan menambah ekspansi usahanya dengan membuka warung atau toko di pinggir jalan.
Petani di desa perlu tantangan. Tapi beruntung di desa saya tanahnya masih subur, air masih melimpah ditambah dengan dekat sungai yang setiap saat dianugerahi pasir dari Merapi. Yang saya bayangkan adalah petani yang berada di daerah perbukitan dan masih terkendala oleh distribusi air. Jika kemarau akan mengering dan susah mencari air. Akhirnya mau tidak mau mereka harus meninggalkan desa untuk mendapatkan penghasilan tahapan untuk sekedar bertahan hidup.
Sebagian besar masyarakat saat ini benar-benar merasakan kelangkaan beras. Bagi pegawai dengan penghasilan kecil hari-hari yang dilalui terasa lama sampai dengan gajian tiba. Seiring dengan beras yang semakin mahal, harga-harga lain mengikuti. Belanja kebutuhan rumah tangga merupakan kegiatan rutin, namun ibu-ibu rumah tangga harus mengetatkan anggaran. Belanja 200 ribu untuk kebutuhan memasak di dapur saja dalam waktu singkat, kalau diakumulasikan sampai sebulan harus berapa juta pengeluaran hanya untuk memenuhi kebutuhan dapur. Â Â
Semoga pemerintah, politisi dan pejabat daerah memikirkan bagaimana caranya masyarakat tidak lagu ketakutan akan munculnya kelangkaan pangan. Beras, yang semakin hari semakin naik, cuaca atau iklim yang susah diprediksi, anomali cuaca yang membuat jadwal masa tanam dan panen menjadi tidak menentu.Â
Pemerintah perlu memikirkan makanan pokok selain beras. Sagu, Porang, Tales, Kentang, jagung, singkong bisa menjadi makanan pokok pengganti. Â Di gunung Kidul dulu sering menghasilkan produk pangan dari singkong seperti gatot, tiwul dan juga sorgum. Mulai dibiasakan untuk membiasakan makan karbohidrat selain nasi.Â
Politisi dan pejabat pemerintahan harus bekerja sama menyingkirkan ego masing-masing untuk memanfaatkan kelangkaan pangan  sebagai senjata menyerang dan mengkritik pemerintah, alangkah lebih baiknya jika kritikan dari oposisi dan orang-orang yang terbiasa nyinyir mau membantu memberi solusi sebagai bagian dari partisipasi mereka membangun negara dari luar pemerintahan.Â