Tidak mudah menyelaraskan pikiran dan hasrat Jiwa saat menulis. Kadang pikiran ingin melompat menemukan diksi, pengetahuan dan hal baru untuk diolah untuk menulis, namun hasrat jiwa kadang diliputi resah, cemas karena ada semacam pergolakan hati nurani yang mengatakan jangan menulis.
Apalagi saat menulis sesuatu yang bersifat subyektif, lebih  cenderung ke opini pribadi bukan bagian dari opini publik. Para penulis harus mampu menyelaraskan pikiran dan jiwa agar menghasilkan tulisan yang bernas. Jika tidak bisa ada yang timpang dengan hasil tulisan meskipun banyak yang menyanjung tulisan luar biasa.Â
Adalah mencintai dengan sepenuh jiwa membuat tulisan jauh lebih dalam dan lebih berkualitas. Menulis dengan sepenuh jiwa dan pikiran konsentrasi akan membuat hasilnya luar biasa. beda dengan tulisan tanpa roh, yang hanya memuntahkan kata-kata tanpa isi. Mudah menghasilkan banyak tulisan tetapi menghasilkan tulisan yang mampu dikenal lama dan everlasting tidak tidak semudah membalikkan tangan. Butuh usaha keras, butuh kesabaran dan juga kesetiaan menjalani passion atau pekerjaan yang sesuai dengan panggilan jiwa.
Saya sempat lama tidak bisa menikmati dunia tulis-menulis. Butuh penyembuhan dari luka jiwa, butuh pemulihan dan rasa bosan dan kembali mendapatkan rasa cinta yang pernah hilang. Butuh waktu untuk bangkit, butuh kesabaran untuk menemukan ritme menulis, menghilangkan trauma dan rasa cemas akibat berbagai masalah pribadi yang sempat menyumbat lancarnya ide keluar dari pikiran. Salah satu faktornya ada pada pada ketakutan-ketakutan akan akan kegagalan, ketakutan ketakutan pada bayangan masa depan dan keterpurukan jiwa akibat masalah-masalah kehidupan.Â
Kini di tahun ini sebagai penulis (penyuka dunia literasi) aku mencoba bangkit, menghidupkan kembali ingatan-ingatan dimana pernah menghasilkan lebih dari seribu tulisan di platform ini (Kompasiana). Tahun yang memberi harapan, seperti geliat shio Naga yang sudah membayang.
Mencintai berarti menerima apapun tanpa syarat, lebih karena mengerti bahwa setiap manusia mempunyai kekurangan dan kelebihan, tidak sempurna tetapi lebih dibanding makhluk lain yang tidak mempunyai akal. Manusia diberi kelebihan pada akal, bukan hanya naluri yang bekerja tetapi juga mengenal dunia yang transenden, mempunyai keterikatan dengan yang Maha Abadi dan Pencipta, sekaligus mampu menyelami jiwa-jiwa yang kadang tidak terselami.
Menulis, menulis dan menulis sampai akhirnya kembali pada ritme menulis yang teratur dan mampu membuat terapi, sekaligus menguatkan adagium menjadi bagian dari sejarah.
Jadi semoga ada kebangkitan yang menjadi momentum untuk mencintai dunia yang lama digeluti. Menulis. Sebab dengan menulis aku ada. Scribo Ergo Sum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H