Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kuatnya Hegemoni Partai dalam Memilih Pemimpin Bangsa

24 Agustus 2023   14:33 Diperbarui: 24 Agustus 2023   14:33 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gungun heryanto.com

Sejak reformasi bergulir, keberadaan partai politik dominan menentukan calon pemimpinnya(presiden). Dominasi partai membuat komposisi pemerintahan tersandera dengan keinginan partai dan deal-deal dari banyaknya partai yang lolos electoral threshold. Mereka menganggap Presiden harus tunduk pada keputusan partai (secara pribadi presiden terpilih tetaplah anggota partai atau petugas partai yang harus menyuarakan visi dan misi partai).

Padahal seharusnya presiden adalah milik seluruh rakyat, ia bukan lagi petugas partai tetapi petugas rakyat. Pada masa kepempinan militer, tampak jelas hegemoni dan aturan protokoler presiden sangat kental nuansa militernya.  Seperti halnya ketika Susilo Bambang Yudhoyona berkuasa (2004-2014). Aroma militer dengan aturan protokoler  terkomando menjadi pemandangan umum presiden. Dan kepemimpinannya sebagai ketua umum partaipun sangat mewarnai pola pemerintahannya. Hampir semua pejabat di pemerintahan begitu lekat dengan partai yang sedang berkuasa.

Di masa pemerintahan Jokowi, terjadi perubahan mencolok, Aturan ketat protokoler lebih cair dan presiden lebih dekat dengan rakyat, namun di sisi lain keamanan presiden mendapat pekerjaan ekstra, sebab  pengaman, pengawal pasukan khusus pengaman presiden mesti membaur dan waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi dengan presidennya karena kedekatan dengan kerumunan, antusiasme rakyat ketemu presidennya sangat tinggi. Meskipun begitu ada banyak titik lemah ketika kepemimpinan sipil, apalagi pemimpin itu menjujung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia.

Oposisi memanfaatkan untuk menyerang pribadi, membuat narasi-narasi yang sebetulnya bisa ditarik ke ranah hukum kalau presiden mau. Pasal-pasal penghinaam, pencemaran nama baik bisa dikenakan pada orang-orang yang sering melontarkan kata-kata pedas, kritis dan cenderung menghina sosok presiden. Presiden yang tidak berjarak, presiden yang menjunjung tinggi demokratisasi sering dimanfaatkan untuk dijadikan sasaran cercaan. Itulah resiko seorang pemimpin sipil. Kalau kepemipinan sipil, tidak bisa seenaknya menggunakan tangan besi untuk menggebuk lawan politiknya. Meskipun dihajar dengan caci maki, hinaan  harus legowo diterima karena sadar resiko yang dihadapi dalam pemerintahan demokratis.

Opini Kebablasan "Oposisi" Pemerintah di Era Demokrasi

Oposisi di Indonesia kadang dianggap kebablasan, karena memanfaatkan kebebasan berbicara dengan cara menghina sosok pemimpin populis. Jokowi sejak menjadi Gubernur DKI sampai akhirnya menjadi presiden banyak merasakan betapa ribuan, bahkan jutaan kata-kata pedas terlontar dari rakyatnya terutama mereka yang dinamakan hatters, oposan yang sering komentar di media sosial. Banyak berita hoax bermunculan dengan narasi seakan-akan presiden tidak bisa apa-apa, plonga-plongo, ijazahnya palsu, terjadi upaya terstruktur untuk melanggengkan kekuasaan dengan memframing presiden banyak utang tidak becus memimpin, rakyat semakin miskin dan banyak memunculkan kebijakan yang memihak kapitalis, komunis,asing, aseng.

Keberadaan partai membuat idealisme presiden terkendala pesan titipan, kabinetpun dibentuk dari kompromi partai politik, bukan murni keahlian dan profesionalitas. Banyak pejabat yang berasal dari partai mengakomodasi kepentingan partainya sendiri, sehingga memunculkan anggaran siluman, anggaran yang digunakan untuk menggerakkan roda organisasi partai.

Kader Kader Berkualitas Tenggelam dalam Hegemoni Partai

Sebenarnya kader-kader partai itu cukup mumpuni dalam hal kemampuan, tetapi banyak dari mereka datang dari orang-orang yang secara finansial bisa memberikan kontribusi. Untuk gabung ke partai politik butuh modal yang cukup, apalagi jika mencalonkan diri menjadi legislator/wakil rakyat. Biaya spanduk, promosi lewat berbagai media, pendekatan ke konstituen atau pemilih perlu modal termasuk akomodasi selama kampanye. Bahkan ada yang menggunakan politik uang untuk mempengaruhi massa.

Dari simpulan opini yang berkembang di masyarakat politik itu penuh intrik, penuh aroma licik dan penuh hitung-hitungan untung rugi. Deal-deal politik yang dilakukan bukan semata untuk kepentingan masyarakat namun sebenarnya untuk kepentingan partai semata. Maka jika banyak caleg mengatasnamakan rakyat, mencoba mewakili masyarakat miskin, jangan-jangan itu permainan mereka supaya mendapat simpati masa.

Untuk itu masyarakat perlu selektif memilih pemimpin. Perlu analisa mendalam agar tidak beli kucing dalam karung. Atau kemasan bagus ternyata dalamnya rusak atau busuk. Namun tidak semua caleg punya kualitas buruk, banyak yang mempunyai prestasi mentereng, namun yang harus diperhatikan adalah apakah terobosan, visi dan misi mereka benar-benar mewakili suara rakyat? Sebab banyak bagus akhirnya idealism luntur ketiak sudah duduk manis di parlemen. Suara mereka yang sebenarnya mewakili suara rakyat hilang entah ke mana setelah asyik dengan proyek-proyek dalam genggaman dan gaji besar selama menjadi legislator atau pejabat negara.

 Harapan Mengubah Stigma Partai Politik dari Milenial

 Partai politik di Indonesia masih dipandang sebagai sebuah lembaga yang banyak mempraktikan kebiasaan buruk yang perlu disingkirkan yaitu kolutif, nepotisme (perkoncoan), korupsi (memanfaatkan anggaran negara untuk kepentingan pribadi atau organisasi / partai politik). Pejabat yang berasal dari partai politik seringkali terciduk melakukan mark up anggaran, membuat proyek-proyek yang dananya dari negara tetapi sebagian digunakan untuk memperkaya diri dan menggemukkan organisasi dan partainya.

Itulah makanya saat ini praktik korupsi belum bisa diberantas karena keterkaitan erat perangkat hukum pembuat undang-undang, pejabat eksekutif, Yudikatif yang memunculkan konflik kepentingan. Mereka pencetus undang-undang kadang adalah pelaku pencucian uang, koruptor terstruktur yang susah dijerat hukum karena kekebalan kedudukan (terutama sebagai wakil rakyat). Hukumpun seringkali menjadi lemah jika berhadapan dengan penguasa dan legislator.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun