Hari Natal sudah beberapa hari berlalu. Umat Kristiani masih merayakan di rumah dan melakukan perayaan di lingkungan masing-masing. Sebagian bisa merayakan dengan bebas tanpa hambatan sebab lingkungan sekitar mendukung, namun sangat disayangkan ada beberapa daerah yang melarang perayaan Natal, terutama ketika ibadat dilakukan di luar gereja yang menjadi tempat ibadat.
Apa Pemicu Pelarangan Ibadah?
Padahal umat Kristen ingin merayakan Natal yang hanya berlangsung 1 tahun sekali, tetapi terbentur minimnya tempat dan ketiadaan gereja di sebuah daerah hingga mereka menyewa aula atau ruko untuk melakukan peribadatan. Namun ternyata ada beberapa oknum masyarakat merasa keberatan dengan adanya ibadat tersebut. Di beberapa tayangan di YouTube viral terlihat pertengkaran terjadi dari pihak pendemo, atau mereka yang keberatan adanya ibadat Natal dan jemaat yang tengah merayakan hari Kelahiran Tuhan Yesus tersebut. Mengapa bisa terjadi?
Tidak semua umat non kristiani terutama umat mayoritas membatasi ibadat yang hanya setahun sekali. Banyak faktor terutama karena provokasi yang dilakukan pemuka agama yang menganggap bahwa ibadat agama lain mengganggu kenyamanan. Dan mereka berpandangan bahwa ibadat hanya dilakukan di tempat resmi. Kalau di Islam ya di masjid atau di mushola, Kristen dan Katolik di gereja. Budha Di Vihara, Hindu di Pura, Kong Hu Chu di Klenteng.
Kalau dilakukan di luar tempat ibadat berarti melanggar ketentuan umum dan dapat dibubarkan. Keyakinan itu yang membuat mereka membubarkan ibadat yang tengah berlangsung seperti di Cilebut, Di Maja dan di beberapa tempat lainnya. Di Maja Bupatinya Hj Iti menyarankan umat Kristiani merayakan Natal di daerah  Rangkas Bitung. Padahal umat Kristiani di Maja banyak yang ingin merayakan Natal yang hanya 1 tahun sekali di daerahnya.
Ini memunculkan konflik dan banyak pihak menyayangkan mengapa masih ada oknum atau pejabat yang melarang ibadat umat agama lain selain mayoritas. Masih ada ketakutan akan pengaruh ibadat terhadap relasi kehidupan bermasyarakat. Toh sebetulnya tidak ada yang dirugikan kecuali mereka yang berpikiran sempit dan fanatis.
Presiden Dan Pemimpin Memberi Contoh Toleransi
Hak sama warga negara untuk beribadat terutama di negara yang berdasarkan Pancasila. Presiden sendiri sempat berkunjung ke beberapa gereja di Bogor, yang penulis lihat sambutan di Gereja Katedral umat Katolik di sana luar biasa. Ini momentum langka Presiden mengunjungi gereja dan mengucapkan selamat Natal pada umat di Katedral Bogor. Di Jakarta Barat Malam Natal juga di datangi oleh wali kota dan mereka  menjamin ibadat berlangsung aman dan lancar dengan jajaran keamanan yang ketat oleh aparat keamanan, ulama, pemuka agama, Pemuda Pancasila dan Banser dan ormas lainnya.
Terjadinya pelarangan ibadat membuat kekhawatiran relasi antar agama renggang. Namun penulis masih yakin Indonesia masih aman dengan gesekan antar agama. Masih lebih banyak mereka yang menghargai perbedaan, toleran terhadap hak beribadah masing=masing orang. Hanya sebagian oknum dan juga daerah tertentu tampaknya masih membatasi ruang gerak ibadah agama minoritas.Â
Tercatat beberapa daerah yang mempunyai peraturan ketat hingga sering muncul bentrokan antar agama antara lain di Sumatra Barat, Aceh, Depok, Sebagian kecil Bogor. Semoga saja pemerintah daerah sadar untuk kembali meresapi makna keberbedaan, keragaman kepercayaan, budaya, agama sehingga memunculkan harmoni antar umat beragama dan antar suku bangsa sehingga tidak ada friksi, tidak ada benturan, tidak ada perdebatan yang mengarahkan pada perpecahan bangsa.
Umat Kristiani sendiri sebagai minoritas juga harus legowo, atau mampu menyesuaikan diri terhadap peraturan daerah dan tidak memaksakan diri jika lingkungan sekitar masih belum bisa menerima bila ada ibadat tidak resmi selain di gereja atau tempat ibadat. Ada sebagian masyarakat resah dengan hingar bingar peribadatan, dan merasa terganggu dengan kerumunan. Kalau masyarakat dan aparat pemerintah masih keukeuh sebaiknya mengalah dan mencari gereja yang bisa menampung peribadatan mereka.
Pelan-pelan tanpa kekerasan melakukan sosialisasi bahwa mereka perlu tempat untuk ibadat, tanpa diganggu oleh pelarangan-pelarangan beribadah. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia apapun kepercayaan seharusnya dilindungi, tapi kalau di sebuah daerah belum bisa menerima hendaknya umat sabar dan terus berdoa agar muncul kebijakan baru yang memberi kesempatan mereka beribadat, toh ibadat itu tidak dilakukan sepanjang hari hingga mengganggu ketertiban masyarakat.
Pemerintah sendiri harusnya kompak, menegakkan aturan bagaimana umat agama di seluruh Indonesia bisa dengan nyaman melakukan perayaan agama. Sudah ada contoh dari Presiden dan Gubernur, Wali kota dan aparat pemerintah yang melakukan silaturahmi saat ibadat semoga diikuti oleh pejabat lain di seluruh Indonesia.