Penulis jadi ingat pengalaman waktu kecil, betapa nikmatnya jalan kaki. Sehabis sekolah tidak langsung pulang ke rumah tetapi melipir lewat tepi sungai, menyusur jalan setapak, Banyak kegiatan yang memaksa siswa untuk jalan kaki dan bahkan lari. Akhirnya jalan kaki itu begitu akrab. Lagi pula belum banyak godaan transportasi yang mempermudah dan mempercepat perjalanan.
Jalan Kaki Kebiasaan di Masa Lalu
Sejak SD biasa jalan kaki, bahkan hampir tiap Lebaran bersilaturahmi ke saudara dengan jalan kaki lebih dari 5 kilo sudah biasa. Di SMA masih menikmati jalan kaki menyeberang dua sungai yaitu Pabelan dan Senowo. Setiap pagi hampir setiap hari jalan kaki lebih dari satu kilo. Untuk sampai di terminal Banyudono pasar Talun, baru kemudian naik angkot istilah dulu naik kol(dari kata colt untuk merk Mitsubishi jadul) sampai Muntilan. Awal-awal kuliahpun kadang saya sering menantang diri jalan kaki dari Muntilan ke rumah (di lereng gunung Merapi). Menempuh perjalanan kurang lebih delapan kilo dari Muntilan. Dari stasiun Blabak beberapa jalan kaki menempuh perjalanan 9 kilo ke arah jalan tembus Boyolali Magelang.
Kalau diuji kaki ini benar-benar tangguh untuk jalan kaki. Pernah saya jalan kaki dari Kampus (IKIP Yogya) sampai Magelang. Sampai saat ini pengalaman itu masih melekat. Bahkan rutenya masih hafal sampai sekarang. Dari Karangmalang, melewati Bundaran UGM, melewati jalan Kaliurang, ke arah Pingit, belok ke jalan Monjali (monumen Jogja Kembali)  ke arah kanan menuju jalan Magelang, terus menyusur Jalan Magelang melewati alun-alun Kabupaten Sleman, terus menyusur jalan tanpa henti ke arah Tempel, melewati Jembatan Sungai besar Tempel yaitu Kali Krasak menuju perbatasan Yogyakarta Magelang atau Yogyakarta Jawa Tengah. Hampir subuh saya sudah sampai di Pekuburan China Gremeng yang terletak di Semen Salam. Telapak kaki sudah melewati merah, kelelahan menghentak, tenaga fisik sudah semakin menurun namun semangat dalam jiwa masih berkobar untuk bisa  sampai ke kampung halaman di lereng gunung Merapi.
Suasana terang sudah terlihat di Muntilan. Sekitar jam 6 pagi masih harus melewati jalan aspal Muntilan menuju Talun Banyudono. Dari Pasar Talun menyusuri jalan kecil, melewati jembatan bambu sungai Senowo, menanjak melewati jalan setapak turun lagi menyusur sungai Pabelan ( Sekarang sungai Senowo dan Pabelan itu sudah menyatu dan akses jalan kecil tertutup karena kena terjangan lahar dingin yang dahsyat hingga membuat sawah, ladang kebun dan tanaman milik petani dan penduduk sekitar lenyap berganti hamparan bebatuan dan pasir vulkanik).
Jadi ingat ketika ke pasar harus jalan kaki dari Tumpang (Banyutemumpang) melewati jembatan kecil berbayar (sukarela). Kalau sedang banjir besar maka jalan itu otomotis ditutup karena amat berbahaya bila terkena arus air yang deras. Â Pemandangan alam benar-benar indah luar biasa di sepanjang jalan. Hawa udara yang dingin dan segar benar-benar membuat saya sebagai anak desa merasakan kaki-kaki ini benar-benar teruji.
Kebiasaan jalan kaki pernah saya jalani ketika baru awal menginjakkan kaki di kota Jakarta. Menyusur gang sempit di Jalan Petogogan, Jakarta Selatan, Jalan kaki dari Terminal Pulo Gadung ke arah Vespa (jalan menuju angkot KWK menuju ke Kelapa Gading). Atau jalan kaki dari Petogogan menuju ke arah blok Q Santa atau Jalan Tendean, tapi lama-lama saya malas jalan kaki karena ada motor yang membantu saya untuk sampai ke tempat kerja lebih cepat. Hobi saya kemudian berpindah bersepeda. Ketika usia merangkak frekwensi jalan kaki menurun dan saat ini jujur jarang jalan kaki karena harus mengejar waktu agar tidak terlambat sampai ke tempat kerja.
Perilaku Pengendara bermotor Membuat Malas Jalan Kaki
Salah satu hal yang membuat malas jalan kaki karena motor-motor dan kendaraan sekarang benar-benar ngeri. Trotoar, jalan diokupasi habis oleh mereka. Pejalan kaki jantungan jika jalan di pinggir jalan, bisa-bisa kesambar motor yang dipacu cepat, atau mereka yang mengemudi zigzag tanpa mempedulikan keselamatan pengendara lain.
Di Jalan Daan Mogot, terutama yang beririsan dengan samsat, benar-benar susah ditemukan trotoar, sampai menuju ke Depag, betapa pendeknya jarak bangunan pinggir jalan dengan jalan utama. Asap kendaraan dan perilaku pengendara motor yang beragam membuat pejalan kaki seperti terteror dan takut bila tiba-tiba terserempet kendaraan. Mereka pengendara bukannya sopan malah lebih galak tidak merasa bersalah jika dituduh mengendarai motor ugal-ugalan.
Jadi salah satu kenapa semakin malas jalan kaki karena infrastruktur jalan-jalan di kota kurang mendukung upaya masyarakat untuk mencintai kegiatan jalan kaki. Meskipun banyak jalan utama di Jakarta sudah dilebarkan untuk pejalan kaki namun di beberapa tempat malah digunakan untuk pedagang kaki lima membuka lapaknya dan akhirnya pejalan kakinya terpaksa harus jalan kaki hampir ke tengah jalan.
Di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya budaya jalan kaki belum menjadi habit, kebutuhan dan prioritas. Makanya yang memadati jalan adalah motor, mobil dan kendaraan yang mengeluarkan gas sumber polusi. Kalau semua jalan di kota sudah terintegrasi, akses jalan mudah, trotoar bisa membantu manusia kota untuk mengalihkan habit dari naik motor ke jalan kaki atau bersepeda maka dibutuhkan ketegasan pemerintah untuk membatasi pergerakan kendaraan bermotor.
Masalahnya karena alur pergerakan pekerja dan penduduk masih memiliki ketergantungan pada moda transportasi seperti motor dan kendaraan pribadi maka mengharapkan banyaknya pejalan kaki masihlah utopis.