Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Butir- Butir Kerinduan (1)

7 Mei 2022   08:13 Diperbarui: 7 Mei 2022   08:14 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di atas kedung Kayang memandang lembah Merapi (dokpri)

Tak terkatakan rinduku, menyesap tanah kelahiran. Sudah lama hanya melihat dari sepoi angin yang berbisik yang bercerita tentang pelepah pisang, pepohonan rindang dan kecipak air dari mata air yang mulai mengering.

Aku terbiasa menyusur jejalan sunyi, diantara rimbunan bambu. Jalannya menurun, menikung kemudian melandai. Dua sampai 4 senti jaraknya parit kecil dengan air bening mengalir deras, suaranya merdu merasuk ke telinga, sesekali berhenti ketika melihat ular melata melintas. Ia berdiri sampil menajamkan pendengaran, seperti mendengar telaoak manusia berdegum. Detak jantungku ternyata ikut didengar olehnya barangkali. Tapi matanya tak pernah tajam melihat, hingga akhirnya ia menggelosor masuk dalam lumpur pesawahan dan aku bisa melanjutkan perjalanan.

Berkali-kali rumput liar menggores kulit tanganku, sesekali jari kaki menginjak lumpur becek, dan betisku pun menempel lintah yang mengisap darahku, hingga ia yang hanya sebesar serabut rambut membesar dan akhirnya tumbang kekenyangan. Aku harus menyibak rumput gajah yang sengaja ditanam di pinggir alur sawah. Galengan namanya. Di sepanjang galengan banyak tanaman. Kacang panjang, buncis, kapri dan juga rumput gajah serta daun wangi lainnya.

Di ruas tebing-tebing yang cukup curam deretan pohon kelapa, daun salam, pohon nangka berjejer rindang. Dari dekat disapa aneka burung yang senang hinggap di antara ranting-rantingnya. Dulu aku suka memanjat kelapa. Ketika berada di atas pelepahnya serasa terayun kencang, menari-nari di angkasa sambil melihat pemandangan luas, dua gunung perkasa Merapi dan Merbabu. Sempat termenung melihat keindahan alam yang tergelar. Kemudian kaki menjejak jeranjang kelapa tua yang siap dituai. Aku ambil sabit dan kupotong pangkal batangnya hingga kelapa jatuh menggemuruh di dasar tebing dan jurangnya. Kini aku hanya bisa memandangnya karena hanya memanjat satu meter saja kakiku sudah bergetaran dan jantung berdebar kencang. Mentalku tidak sebesar dulu, yang bisa memanjat kelapa tinggi dan menginjak pelepahnya.

Usia memang semakin usur dan aku harus tahu diri, namun hasrat untuk menyusuri pesawahan dan meniti tebing-tebingnya tidak pernah surut. Hanya saja detak jantung tubuh yang mulai reot itu tidak bisa dibohongi. Dulu aku bisa menyusurnya hingga lebih dari 5 kilo lebih, menyusur pematang, menyeberang sungai, melompat parit hingga menembus ilalang hingga akhirnya sampai ke bukit dekat dengan deretan lereng Merbabu. Bertualang itu makananku, daripada harus berdebat kata untuk sesuatu yang tidak jelas.

Aku menyenangi kesunyian dan lebih nyaman berdialog dengan alam yang jujur. Apalagi bicara tentang politik yang membuat pening isi kepala. Sudahlah yang kukenang di desa bukan perdebatan melainkan suara-suara serangga, suara-suara senja, suara-suara burung yang berkicau. Aku biasa melihat lembah ngarai, menyusuri  deretan sawah subur yang diolah para petani dengan tekunnya. Sedari pagi sudah bangun, sehabis subuh setelah menyeruput teh hangat dan gula kelapa, sambil sarungnya mereka lekatkan di tempurung kepalanya untuk mengusir rasa dingin. Mereka menembus kabut yang masih menyelimuti desa.

Kokok ayam  sudah bersaut-sautan. Jagad mulai memerah di sebelah timur. Matahari belum terlihat namun cahayanya mulai terlihat garisnya menyembul di tengah-tengah gunung Merapi dan Merbabu. Sementara kerbau sudah melenguh digiring menujuh sawah di tepi sungai besar di sebelah selatan desa. Kilatan kemerahan sudah tampak sementara kerbau yang berjalan beriringan tampak  siluet. Tertangkap indah oleh kamera DSLR yang sudah kusiapkan dengan shutter speed atau bukaan rana yang sudah kuutak-atik.

Aku memang bukan petani, aku anak guru yang senang menyusur pesawahan sedari kecil. Lahir dan besar di desa itu sebuah kebanggaan tersendiri, meskipun sekarang aku hidup di kota karena tuntutan perut, rinduku tak terkatakan bila bicara tetang kampung halaman.

Tidak terasa air mataku menetes pelan, mengalir di sela-sela kelopak. Saat ini selama hampir 3 tahun lebih  tidak bisa pulang, Aku hanya bisa sesekali menelepon, menanyakan kabar pada orang tuaku di desa. Sementara dalam tiga tahun ini ia sendirian, tinggal di rumah besar yang penuh kenangan itu. Aku tahu orang tua, rindu begitu juga diriku.

Di kota kukatakan dengan jujur harus berjuang agar aku bisa pulang, belum bisa kulaksanakan keinginanku karena aku tidaklah sendiri di sini. Aku sudah berkeluarga, ada semacam tanggungjawab besar agar bisa bertahan di kota besar yang setiap hari kebutuhan juga luar biasa besar, sebesar apapun tabungan terus saja menguap mengingat setiap hari masalah  datang silih berganti.

Mungkin orang di desa mengira aku sudah sukses di kota. Kukatakan relatif, sebab sebesar apapun pendapatan tetap saja habis karena keinginan untuk mengeluarkan uang sama besar dengan pemasukannya. Jadi meskipun bisa membelah kota dengan mobil, bisa membeli sepetak rumah meskipun di tepi kota besar, susah menabung dan harus bertahan agar bisa pulang bersama-sama. Sekali pulang jutaan rupiah keluar dan setelahnya harus berjumpalitan lagi mencari receh demi receh.

Tetapi harusnya tidak seidealis diriku yang harus mikir kalau mau pulang kampung. Mereka para urban tetap saja pulang setiap satu tahun sekali. Tidak peduli harus utang gali lubang tutup lubang sebab silaturahmi dengan keluarga itu wajib. Spirit selalu muncul saat bisa bertemu dengan handai taulan, dan kawan sepermainan. Kulihat foto-foto di facebook beberapa teman yang bisa mengadakan reuni, tampak gurat gembira meskipun sama-sama tahu ketika guratan kulit yang mulai menuai sudah tampak beban hidup tiap orang  terlihat. Tetapi mereka berusaha gembira, sebab mengenang masa kecil bisa membangkitkan semangat hidup lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun