Aktifitas menulis bisa menghindarkan seseorang dari jebakan fanatisme, radikalisme agama. Sebab sebagian penulis akan selalu menelaan masalah dengan pikiran terbuka, mereka mempunyai wawasan luas, tidak hanya sekedar menulis tetapi membuka cakrawala pengetahuan. Tidak terjebak dalam doktrin-doktrin sempit yang membuat penulis menjadi terjebak dalam pola pikir radikal. Mereka akan terbuka pada perbedaan pandangan dan tidak mudah terhasut oleh berita-berita yang belum tentu benar. Dalam wawasan penulis yang luas akan muncul sikap kritis, tidak mudah percaya kalau tanpa data dan riset.
Maka jika ada penulis yang sering menulis tanpa data dan riset dan hanya berdasarkan katanya-katanya maka penulis itu perlu membuka diri. Kualitas tulisan penulis itu akan terukur jika apa yang dituliskan itu adalah endapan permenungan, pengetahuan, luasnya pandangan, resensi yang banyak dan sudut pandang pemikiran yang mampu membuka cakrawala pengetahuan bagi pembaca.
Ladang Pengabdian Yang Berbeda Tidak Memilih Menulis Sebagai Hasrat Hobi Mereka
Guru yang belum mempunyai semangat untuk menulis, mungkin saja karena kesibukan mengemban tugas-tugas berat harus menyingkirkan dulu hasrat menulisnya, pengabdian guru bisa di mana saja, ketika ia sudah menginspirasi karena perhatian dan concernnya pada masa depan anak, selalu melakukan pendampingan, konseling dan rangkulan erat layaknya orang tua dan anak itu juga merupakan sebuah tugas mulia. Guru yang bisa membagi waktu antara mengajar dan menulis juga mempunyai nilai plus sendiri, paling tidak karya-karya tulisnya bisa mendorong anak didiknya untuk terinspirasi pada hobi guru di samping memberikan ilmu juga menginspirasi siswanya untuk berkarya literasi.
Tidak semua guru mempunyai hasrat menulis tinggi. Mereka mempunyai talenta dan ladang pengabdian yang berbeda. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H