Ia belajar banyak dari kegagalan, banyak belajar dari kekurangan diri sendiri, banyak memetik pelajaran dari kemiskinan jiwanya karena dulunya lebih mementingkan diri sendiri.
Ia bodoh awal mulanya karena ia merasa pintar, tidak perlu belajar dan tidak memerlukan orang lain. Setelah mengalami kegagalan dari segala tingkahnya yang egois, ia seperti tersentil dengan beberapa tokoh yang dikaguminya, orang yang ternyata sudah selesai dengan dirinya sendiri. Tokoh itu begitu menginspirasi hingga menyebabkan ia sadar bahwa egoismenya selama ini telah meruntuhkan kesempatan untuk sukses.
Pelahan-lahan seiring perkembangan waktu ia mulai berubah tidak lagi egois, malah ia lebih sibuk membantu orang lain, sibuk memberikan tenaga dan pikirannya untuk bergerak maju.
Ia sering memberikan kursus gratis, konsultasi gratis untuk orang-orang yang memerlukan keahliannnya. Ia membagikan pengalaman suksesnya dan tidak lagi menonjolkan egoismenya yang akhirnya membuat ia gagal total dalam hidupnya ketika ia lebih menonjolkan egoisme.
Ia ingat kebodohan dirinya waktu ia sekolah salah satunya disebabkan ia egois. Merasa tidak memerlukan orang lain, juga gengsi bertanya. Semakin hari hidup penuh tekanan karena akibat egois dan gengsi ia terkucil dari teman-temannya yang pintar dan berprestasi.
Matematika menjadi pelajaran menakutkan. Ia merasa tak tahu apa-apa, tidak bisa dan tidak punya keinginan untuk bisa. Ia merasa harus tahu diri, dan gengsi untuk mengalah agar ia bisa belajar dari kekurangan.
Semakin lama egoisme dan gengsinya membuat semakin terpuruk. Ia merasa paling bodoh dan tidak bisa diandalkan. Seringkali gagal, selalu rangking dua bahkan rangking satu tapi terbawah.
Padahal banyak teman optimis ia punya nilai lebih dalam hal tertentu, terutama masalah ketepatannya dalam memutuskan masalah dan idenya yang out of the box. Tapi ia sendiri merasa ia orang yang gagal. Tetapi ia tidak mau berbagi kesedihan, kesendirian, dan kesepian dinikmati sendiri.
Ia kemudian melihat ada guru besar yang mengajarinya banyak hal. Hanya satu diantara banyak dosennya yang cenderung memvonisnya sebagai barisan orang bodoh.
Dosen yang ia kaguminya selalu sabar menerima dirinya, selalu memberi kesempatan untuk memperbaiki tugasnya hingga akhirnya cukup sempurna di mata gurunya itu.
Gurunya memberinya kesempatan untuk tidak gampang menyerah pada kegagalan. Setelah berkali-kali salah, berkali-kali tidak memenuhi harapan, ia kemudian menemukan cara untuk bangkit.