Di sebuah masa aku rindu mendengar suara merdumu, mengalir lembut sampai relung hati. Suara itu seperti suara malaikat yang mengundang untuk kontemplasi dan berdoa. Suara merdumu akan muncul ketika hati dan pikiran tengah kesuh. Diantara kicauan burung tekukur dan  tongkeret, menyelusup doa-doa dan darasan pujian yang mengalun lembut sampai ke kedalaman kalbu.
 Hanya muncul pada jam-jam tertentu di mana manusia mungkin tengah lupa dan sibuk dengan kehidupannya sendiri. Dengan mendengar suara yang tertata dan intonasi teratur, hati manusia akan meleleh dan melupakan sejenak persoalan dunia. Harmoni, itu yang aku rasakan bahwa semua manusia apapun keyakinannya tetap damai mendengar lantunan yang selaras dengan suara alam.
Apakah salah manusia sepertiku mendengarkan suara-suara lembut, bukan untuk mengumpat, bukan untuk melontarkan makian dan hinaan. Hanya yang mampu membangkitkan jiwa dalam api kedamaian, saling sapa dalam dekapan keramahan dan kegotongroyongan. Semua sama di mata Tuhan, sejajar di hadapan Yang Maha Pencipta.
Kalau sekarang muncul suara-suara keras dari setiap lorong, dari setiap sudut gang, riuh rendah seperti ingin bersaing, apakah salah jika manusia sepertiku ingin mengeluh, terus sebaiknya yang didengar suara yang mana. Semuanya tumbang tindih, semuanya ingin didengar dan volumenya sangat hingar hingga kekhusukan pudar sudah. Yang terasa hanya perasaan kesal, dongkol, ingin sesekali merasakan sunyi namun kerinduan itu  hanyalah sebuah cita-cita, ketika mengeluh dan mencoba melakukan gerakan protes yang hanya malah terdamprat dan dimaki seakan-akan kami tidak menghormat.
Bukan itu maksud aku, yang menjadi kerinduanku adalah keteduhan untuk mendengarkan lantunan doa itu dalam harmoni dan irama yang selaras. Kalau suara tumpang tindih saling bersaing untuk didengarkan yang ada malah menaikkan emosi manusia. Bukannya menggiring dalam kontemplasi dan suasana meditatif, yang ada adalah kegeraman dan kekesalan.
Yang aku ingin saat ini lembutkan manusia, haluskan kembali nurani manusia. Tuhan itu Maha Lembut, tidak mungkin membiarkan kegaduhan hadir hanya sekedar mendengarkan kesombongan manusia yang ingin menang, ingin lebih didengar, ingin lebih diperhatikan. Bayangkan doa itu adalah cetusan bathin, Tuhan itu selembut apapun doa yang hadir di hati tetap bisa didengarnya, tidak perlu keras menggelegar, tidak harus saling tumpang tindih, semuanya harus masuk lewat suara-suara yang berseliweran di ruang publik.
Salahkah mendengar suara merdumu saat ini. Salahkah mendengarmu seperti konser yang semuanya diatur penuh dinamika dan saling mengisi kekurangan. Apakah telinga ini harus selalu mendengar bebunyian memaki, Â mencela sementara yang ingin kudengar hanyalah lembut desiran angin dan suara-suara yang mengingatkan bahwa ada kalanya manusia harus berhenti berkarya untuk melakukan kontemplasi dan doa khusus dengan hantaran suara yang indah?
Rasanya saat manusia tengah luruh dalam sepi, hanya mendengar sayup-sayup suara dari kejauhan, bahasa kalbu benar-benar nyata terangkai. Bukan sekedar hapalan-hapalan namun benar-benar merasuk, mengalir dalam setiap aliran darah sampai ke ujung tubuh manusia yang terjauh dari jantung dan otak sekalipun.Â
Aku tidak perlu mendengar suara-suara gaduh dari orang-orang yang tengah mempermasalahkan hal-hal pribadi yang sebetulnya menjadi hak setiap orang. Semua orang merdeka dalam hal bagaimana memakai baju, memperoleh kenyamanan diri, bukan karena paksaan tapi karena kesadaran diri.
Aku rindu mendengar khusuk doa setiap orang yang benar-benar tulus menatap setiap pribadi sebagai sahabat dan menghargai setiap manusia yang mempunyai jalan sendiri untuk bisa mengungkapkan rasa syukur dan bagaimana berdialog dengan nyaman tanpa beban. Semuanya itu berawal dari hati, berawal dari jiwa bukan yang melekat dan terlihat oleh mata telanjang, tetapi oleh sorot teduh dari orang-orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri.
Seperti suara kecapi dan seruling yang nyaring terdengar di hamparan sawah, atau suara gamelan yang lembut menghanyutkan di kala malam sunyi, hingar yang sengaja dimunculkan saat menari dan mengekspresikan diri dalam irama gerak dan lagu.
Tentu bukan hingar dan suara yang saling berpacu, namun harmoni yang terdengar sebagai sebuah representasi bahwa berbeda itu bukan merupakan aib melainkan sebuah anugerah di mana setiap manusia bisa saling menutup celah kelemahan dan dengan kelebihan yang ada dalam dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H