Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wayang, Budaya dan Agama itu Harmoni Bukan Toxic

20 Februari 2022   08:15 Diperbarui: 23 Februari 2022   11:42 4341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak -anak SMP sedang bermain Gamelan (Dokpri)

Sebagai orang Jawa, sejak lahir saya sudah disuguhkan hiburan yang lahir dari kebudayaan nenek moyang, Kakek saya menurut cerita bapak saya pernah mempunyai seperangkat gamelan, bapak pernah ikut grup wayang wong (wayang orang) dan mempunyai pengalaman menjadi dalang. Dari kecil sudah mendengar gamelan, mendengarkan suara- suara musik tradisional dan berbagai produk kesenian baik ketoprak, jantilan, reog, jalantur, atau sekedar rengeng-rengeng (suara gamelan yang sering muncul penuh misteri, terdengar tapi tidak pernah bisa diketemukan darimana datangnya suara itu.

Budaya Jawa sudah melekat dan waktu itu tradisi, sesajen, kenduri, wiwitan sebelum mulai menanam padi dan saat panen padi masih melekat kuat, sekarang tradisi itu sudah luntur. Saya sebetulnya salah satu keluarga minoritas karena kebanyakan tetangga beragama Islam, meskipun banyak dari mereka yang agamanya hanya KTP, banyak yang NU dan masih sering melakukan budaya kenduri.

Ketika ada acara kampung, semua diundang tanpa kecuali, saat berdoa menggunakan tata cara Islam dalam acara kendurian, sering mendengar kaum membacakan ayat Quran dan juga doa-doa yang ditujukan pada para penunggu sungai, sawah, belik atau mata air dan jin pri prayangan yang ada disekitar orang-orang desa.

Maksud kenduri adalah mohon keselamatan, perlindungan dari Tuhan agar tetap ada harmoni antara manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan dan alam semesta. Mahluk astral dan kehidupan diluar nalar manusia pun bisa saling rukun tidak saling mengganggu. Kehidupan di desa benar-benar nyaman, tenteram. Sayapun dulu waktu kecil masih sering tiduran di Mushola atau masjid tanpa sungkan, itu hal biasa. Pas Puasa juga sering diberi jatah untuk membuat takjil.

Benar-benar relasi antar agama, tradisi, budaya tampak menyatu erat, belum banyak sisi radikalisme agama yang ada di desa, semuanya alami, ketika dulu Kakek saya meninggal, ada dua doa yaitu doa secara katolik dan Tahlil yang dilakukan sama-sama. Mereka doa di rumah utama, kami berdoa di rumah samping karena jumlah orang katolik sedikit, itupun sudah mengundang dari banyak kampung tetangga. Setelah doa makan bersama disuguhi makanan yang dimasak oleh ibu-ibu di dapur, mereka kemudian bareng makan menyatu tanpa canggung.

Dulu agama benar-benar merupakan laku pribadi, keimanan adalah milik pribadi masing-masing orang, dalam kehidupan sehari-hari budayalah yang menyatukan. Tidak ada sekat pada budaya. Orang boleh beda baju dan cara berdoa tetapi sebetulnya inti dari setiap doa adalah sama, manembah ing Gusti begitulah tradisi Jawa. Manembah Ingkang Murbeng Jagad. Manungso mung titah sawantah.(Menyembah Yang menciptakan Dunia, Manusia hanya ciptaan Semata)

pertunjukan wayang (antara news.com)
pertunjukan wayang (antara news.com)

Wayang, menjadi salah satu hiburan disamping untuk tradisi lestari ketika ada hajatan perkawinan dan acara-acara besar desa. Wayang disuguhkan malam hari sewengi natas (semalam suntuk). Wayang menjadi ajang pertemuan orang dari berbagai penjuru, banyak penonton memadati brak (atau panggung). Mereka ada yang serius menonton, ada yang sekedar jalan-jalan sambil kemulan sarung(berselimut sarung), mencari tempat strategis untuk pacaran atau sekedar menggoda perempuan yang kebetulan ikut menonton. 

Ada yang tujuannya khusus main judi ungkluk / judi memakai alat seperti dadu. Mereka biasanya menggelar agak jauh dari keramaian, sebab seringkali ada razia judi yang dilakukan polisi kampung. Mereka menggelar dengan teplok minyak, ketika ada terdengar berisik munculnya rasia, gulungan karung atau tikar segera diangkut dan menjauh. Pengunjung judi ungluk itu memang selalu penuh.

Di lain tempat ada orang yang menggelar dagangan seperti baju surjan, blangkon dan bahkan ada yang menjual wayang kulit dan wayang kertas. Saya ingat sering pulang larut malam hingga pagi setelah goro-goro atau munculnya punakawan yang menjadi inti dari hiburan wayang menurut saya, apalagi jika dalangnya lucu, seperti dulu yang terkenal adalah Ki Hadi Sugito. Ki Cermo dan Ki Suparman.

Kalau sudah memainkan lakon seperti Karno Duto dan cerita menarik tentang perang barathayuda, maupun gagrag Ramayana rasanya seru, apalagi dengan mendengarkan kendang yang ditabuh saat perang dan cerita lucu dari Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Saat goro-goro sebetulnya dalang tengah melakukan syiar, meskipun saya bukan beragama muslim, syiar agama itu begitu nyaman terdengar, tidak terlihat menggurui dan memaksa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun