Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wayang adalah Budaya Adiluhung Jangan Sampai Hilang

12 Februari 2022   13:16 Diperbarui: 13 Februari 2022   14:25 1928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Pendito Durna dalam Karakter Wayang Jawa(ceritawayang.blogspot.com)

Fenomena mabuk agama dan pemuka agama yang masuk ranah politik mengingatkan penulis pada sosok Pendito Durno. Tokoh pewayangan gagrag Jawa menggambarkan bahwa Durna adalah seorang guru spiritual bagi ksatria kerajaan Astina. Mereka adalah guru bagi Kurawa dan Pandawa, namun Durna sepertinya lebih condong untuk memilih Kurawa, meskipun ia mengakui bahwa Pandawa adalah anak anak pilihan yang cerdas yang mempunyai watak beda jauh dengan anak asuhnya Kurawa.

Puntadewa mempunyai watak halus, jujur, dan lurus, ia punya jiwa pemimpin yang mampu memberi kesejukan dan kebijaksaan bagi adik-adiknya. Bima kuat perkasa dan teguh pendirian dan tidak pernah takut menghadapi apapun. Ia tidak mudah tergoda oleh rayuan apapun, namun cukup kaku dan cukup, sering spontan melakukan perlawanan melawan keadilan tanpa dipikirkan matang-matang. Sedangkan arjuna mempunyai watak halus, senang mencari ilmu dan terkenal suka tukmis (batuk klimis/ playboy, mudah jatuh cinta). Di antara kelima saudaranya ia yang sering mendapatkan simpati dari para wanita. Untuk Nakula dan Sadewa ia anak dari ibu yang berbeda. Yudhistira/alias Puntodewo, Bima alias Bima alias Werkudoro dan Arjuna adalah anak Prabu Pandu Dewanata dari Dewi Kunti Talibronto, sedangkan Nakula dan Sadewa anak kembar dari  Pandu dengan Batik Madrim.

Penyebaran Agama Dengan Cara Damai Lewat Budaya Wayang

Cerita-cerita pewayangan adalah produk budaya nusantara yang dipilih oleh Wali Songo menyebarkan agama Islam dengan cara damai di tanah Jawa. Salah satu wali yang menonjol menciptakan karakter wayang adalah Sunan Kalijaga. Memahami wayang adalah memahami filsafat manusia, mengenal watak-watak manusia, karakter-karakter yang digambarkan pada setiap tokoh wayang. Setiap tokoh wayang mempunyai watak karakter dan tingkah laku yang bisa digambarkan dari ukiran, warna, bentuk wayang yang berbeda- beda. Mata blolok, sipit, kriyipan contohnya bisa memancarkan karakter berbeda. Juga baju-baju serta kupluk, serta asesoris yang tergambar dalam wayang memberi gambaran betapa kayanya nenek moyang dulu dalam menterjemahkan pengajaran budi luhur lewat budaya seperti wayang, ketoprak, ludruk, wayang golek dan lain sebagainya.

Wayang itu merupakan warisan budaya  yang sudah diakui dunia. Masyarakat internasional sangat kagum dengan produk budaya nusantara. Kembali ke sosok Pandito Durno. Sebagai pemimpin spiritual, guru tokoh ini digambarkan culas, gila kekuasaan dan sering pilih kasih, ia tahu bahwa sebenarnya Kurawa itu jahat tetapi karena kekuasaan, karena kenikmatan yang ditawarkan membuat ia menggadaikan idealismenya sebagai guru dan penasihat spiritual. Ia tersandera nafsu kuasa sehingga seperti halnya pemuka agama yang terjun ke politik, tidak bisa lagi bisa berpikir jernih, namun lebih mengedepankan keuntungan pribadi dan golongannya. Kalau perlu bisa menghalalkan segala cara untuk menyingkirkan orang yang berbeda dengan keyakinan , ideologi atau pandangan politiknya.

Memahami Spiritual Budaya Wayang

Padahal sebagai guru spiritual, harusnya Durno adil baik kepada Pandawa dan Kurawa, tapi yang terjadi ia selalu membela yang bayar, membela kekuasaan yang membuat ia mabuk dan tidak bisa berpikir jernih. Fenomena pemuka agama, ahli dalam bidang agama namun dalam praktiknya lebih condong berpikir praktis dan sangat tergila-gila dengan budaya luar yang belum tentu cocok dengan kebudayaan Nusantara yang kaya raya. Durno mengeri ia salah tapi ia menutup mata, karena nikmat kekuasaan lebih nyaman daripada mempertahankan idealisme. Sekarang ini untuk bisa viral dan terkenal banyak pemuka agama sering asal bunyi, tidak memikirkan bahwa sebagai bagian negara Pancasila harus bisa menempatkan diri sebagai bagian masyarakat beragam yang mempunyai warisan kebudayaan yang luar biasa.

Sudah bagus Sunan Kalijaga mengajar dengan menyebarkan agama dengan  cara-cara damai, namun sekarang banyak oknum guru agama, pemimpin agama malah sering menganjurkan untuk melenyapkan budaya, melarang  dan mengharamkan upacara berbasis tradisi dan produk budaya asli, menganggap sebagai penyembah iblis dan bersekutu dengan setan.

Ada pemuka agama yang terang-terangkan ingin melenyapkan wayang, menganggap wayang itu haram, menyingkirkan budaya yang sudah turun temurun menjadi salah satu cara memahami kearifan lokal dan budaya budi pekerti lewat bahasa budaya. Semoga masyarakat Indonesia masih waras, sehingga tidak terpengaruh provokasi orang- orang yang ingin melenyapkan budaya adiluhung. Agama seharusnya menjadi penyejuk, juru damai, bukan memecah belah masyarakat yang kaya akan budaya ini.

Kekuatan budaya luar dalam pengajaran yang cenderung radikal itu harus dilawan dengan penguatan budaya, mau tidak mau benteng paling kuat untuk persatuan dan kesatuan bangsa adalah budaya, Menyebarkan agama, mengajarkan kebaikan banyak jalannya, tidak harus memaksa dan melakukan indoktrinasi dan mencuci otak manusia sampai membenci kebudayaan.

Menikmati Budaya Dengan Tenang dan Damai

Ketika hening, saat dalam merenung, sambil mendengarkan suara merdu kendang dan seruling dari dari degung sunda dan juga mendengar gamelan Jawa, Palaran, suara sinden yang nembang pangkur, maskumambang, sinom rasanya nyaman. Mendengar siter, hentakan kendang, slentem, gender, bonang yang saling mengisi ditambah suara melengking merdu sinden, rasanya adem, bagaimana bisa kekayaan nusantara adiluhung yang dikagumi di manca negara, bahkan gamelan itu bisa ditemui di seantero Amerika, Eropa, Jepang mau seenaknya dilenyapkan hanya karena tidak sesuai dengan ajaran agama. Sebagai bagian dari syirik.

Letak kedamaian itu di hati, pada orang-orang yang mendengarkan nurani, menikmati budaya sebagai bagian untuk menghaluskan budi pekerti.Kalau banyak pemuka memaksa dalam mengajarkan agama, bisa jadi banyak anak muda nanti menjadi atheis, agnostik karena merasa agama bukan contoh baik bagi pembentukan watak dan karakter, malah melihat agama sebagai sumber konflik. Semoga para pemuka agama yang masih waras dan luas pola pikirnya tetap memberi ajaran yang menyejukkan menjauhkan dari kekerasan dan tindakan radikal. Ini Nusantara Bung,bukan padang pasir.  Negara bukan terbentuk dari fatamorgana tapi dari kekayaan sumber daya alam, manusia dan budaya. Salam budaya, semoga damai selalu Indonesia.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun