Hari-hari ini saya seperti dibisiki untuk mengemukakan opini untuk masalah Desa Wadas, kecamatan Bener Purworejo. Apa yang sebenarnya terjadi, Apa yang dilakukan  Pers Indonesia ? Benarkah berita bahwa pemerintah terlibat dalam adu konflik dengan masyarakat kecil di sana? Benarkah ada pelanggaran HAM sehingga bisa menjadi isu internasional yang mencoreng nilai nilai demokrasi Indonesia. Seperti diketahui  pada Selasa (8/22/2022) ratusan aparat gabungan TNI Polri menyerbu desa dengan senjata lengkap. Sekitar 64 orang ditangkap dan yang diberi kuasa ada 54 orang. (sumber:kompas.com.
Yang saya lihat saat ini banyak media yang berlindung di balik media besar tetapi membuat berita yang cenderung hanyalah opini, bukan investigasi serius, namun lebih pada subyektifitas lembaga media yang berlindung pada siapa pemilik yang berada di belakang medianya. Banyak media yang hanya menyuarakan kritikan dengan tendensi pribadi dan pesanan milik media. Ini yang membuat pers netral benar-benar terjepit karena meskipun mereka insan pers netral dengan idealisme jurnalisme sesuai fungsi jurnalistik sebenarnya, lebih tenggelam dalam hiruk pikuk pro kontra antar media partisan tersebut.
Jurnalisme Fitnah Karena Pengaruh Media Sosial?
Tetapi semoga saya salah. Banyak media yang tumbuh di era digital ini, namun semakin banyak media semakin meriuhkan berita-berita yang cenderung berpihak. Pembelahan media benar-benar menjadi kekhawatiran. Ada media oposan demikian juga media yang membabi buta membela penguasa. Meskipun demikian tetap ada media yang netral yang memberikan data dan fakta sesuai berdasarkan asas jurnalistik yang netral dan independen.
Sudah cukup lama saya tidak membaca berita berbasis kertas. Hampir setiap minggu dulu sekitar dua tahun lalu membeli koran untuk belajar bagaimana wartawan nasional mengemas berita, menampilkan berita investigasi yang cermat dan melalui sidang redaksi ketat. Namun ketika mendapati kenyataan media sekarang terutama media digital, kecepatan, viral dan kecenderungan partisan saya melihat, bahasa dan judul cenderung clickbait. Judul seakan-akan membuat berita heboh dan ternyata isi beritanya berbeda dan cenderung menipu.
Inilah, harusnya pers mulai menyeleksi media-media yang muncul agar kembali ke koridor peraturan pers dan mengikuti asas etika jurnalistik yang independen. Kompas menurut saya dulu benar-benar menjadi media penyeimbang dari media-media yang punya kecenderungan oposan, sangat kritis terhadap penguasa, namun sering menutupi juga berbagai prestasi pemerintah yang sebenarnya patut diekspos.
Untuk saat ini banyak media yang hanya mencoba mencari celah berita yang sekiranya luput diberitakan namun dengan misi partisan, cenderung mendiskreditkan pihak tertentu dan membela yang "bayar". Semoga dugaan saya salah banyak media yang masih lantang menyuarakan kebenaran tanpa invisible hand. Saya harap pemberitaan konflik antara polisi, pemerintah dan masyarakat Wadas misalnya lebih mengedepankan jurnalisme terukur, mengungkap fakta sesuai kenyataan. Ada berita dari sisi masyarakatnya dan juga sisi kebijakan pemerintah. HAM pun yang sering membela "yang teraniaya" bisa melihat jernih persoalan sehingga bukan hanya mengekspos keteraniayaan warga Wadas menghadapi kebijakan penguasa daerah.
Ujian Netralitas Pers Nasional
Setiap kebijakan yang menyangkut masyarakat selalu mempunyai konsekwensi. Ada yang dirugikan dan ada yang merasa dianaktirikan dalam hal keadilan. Tugas jurnalistik untuk mengungkap fakta dalam koridor keberimbangan. Bukan hanya menampilkan sisi bobroknya penguasa saja, atau hanya sisi lemahnya masyarakat sipil yang tidak berdaya menghadapi peraturan dan ekspansi hukum pemerintah.
Jangan jadi lemah hanya karena berita obyektifnya tidak menjadi viral. Sebab kadang masyarakat lebih peduli dan terseret arus dalam media yang mampu membuat beritanya heboh dan viral, bukan obyektifnya berita di tengah carut marut informasi yang simpang siur.
Saya bukan wartawan, tidak  terlibat aktif dalam dunia jurnalistik warga, kalau saya membuat tulisan dan kadang diambil pungut oleh media pemberitaan, itu lebih ke opini sebagai penulis. Karena bukan mewakili institusi hanya mewakili pribadi seringkali opini saya disesuaikan dengan suara hati nurani, bagi orang lain mungkin saya cenderung condong pada sosok yang kebetulan saat ini dalam lingkar kekuasaan, mengagumi tokoh nasional yang saat ini berada di titik pusat sebuah rezim. Di lain saat jika pemerintah berganti bisa saja opini saya cenderung tajam mengkritik pemerintah karena tidak sesuai dengan nurani.
Ada semacam keberpihakan karena suara nurani dan mencari berita-berita yang cenderung membela pihak-pihak yang sepaham. Untuk saat ini bagi pembaca yang kebetulan berseberangan dengan alur pemikiran saya mengenai masalah politik  anggap saja saya lebih condong membela kecebong daripada kampret atau kadal gurun, tetapi saya mencoba membaca dari banyak literasi bukan hanya media pemerintah, media penyokong penguasa saat ini, saya pun mencoba membaca kegelisahan media pengkritik, oposan pemerintah, berusaha ditengah-tengah untuk tidak terlalu fanatik membela membabi buta, dan berharap sesuatu saat ada keberpihakan.
Saya melihat media yang memberitakan tentang Rocky Gerung, Rizal Ramli, Fadly Zon, Amien Rais, Refli Harun. Demikian saya mencoba memahami logika Denny Siregar, Eko Kuntadhi, Maz Djo Pray, di kanal 2045 atau Cokro TV. Sekarang gara-gara mengejar viral susah melihat media yang benar-benar independen dan netral.