Dalam melihat dan membaca berita pelaporan dugaan korupsi dan pencucian uang oleh Ubaidillah Badrun pada anak presiden yang sedang berkuasa  saat ini yaitu Gibran dan Kaesang, saya melihat ada keterbelahan, ada pemihakan, tidak banyak media yang netral dan independen dengan menampilkan fakta dan logika dari kedua pihak. Karena saya bukan wartawan di kompasiana ini tentu saya lebih condong pada media dan pihak yang secara logika dan akal sehat saya terima. Bukan karena suka tidak suka pada sosok yang cenderung ngeyel dan membabi buta mengkritik tanpa pernah memuji, tetapi melihat berita itu ada kecenderungan akal sehat saya sedang bekerja untuk membela.
Kalau dikatakan dungu oleh Rocky Gerung misalnya, ya tidak masalah itu hak beliaunya untuk mengatakan dungu pada saya kalau kebetulan saya membela kebijakan pemerintah yang positif, tapi bila melihat masalah yang dihadapi masyarakat Wadas Kecamatan Bener Purworejo misalnya saya harus hati-hati juga, jika benar pemerintah dan polisi  bertindak represif dan memaksa melepas tanah untuk area tambang untuk waduk Bener ya sebaiknya pemerintah membuka kembali ruang dialog, tidak menggunakan cara kekerasan, tidak menggunakan tangan besi untuk mengusir mereka yang "melawan". Bisa jadi ada oknum di situ yang sengaja mengompori, memberi gambaran jelek, mengisi pikiran sebagian penduduknya untuk tidak mengindahkan imbauan pemerintah, bisa jadi banyak kepentingan masuk dari unsur politik dan ideologi sehingga drama Wadas membara hingga ke tingkat nasional bahkan mungkin sampai internasional.
Melihat Elektabilitas Ganjar yang semakin meroket ini sebuah tragedi kemanusiaan, noda yang membuat masyarakat terhenyak, benarkah Gubernur Jawa Tengah ini terlibat dalam konflik dengan masyarakat Wadas mewakili Pemerintah. Kalau benar terlibat ini tentu menjadi tragedi demokrasi, namun jika hanya karena konspirasi politik untuk menggiring opini untuk menggerus suara masyarakat ini sering terjadi dan selalu muncul pada setiap kali ada pergantian kekuasaan. Bahkan lewat cerita fiksi persilatan pun trik-trik politik penguasa, Sejak zaman Singasari, Majapahit, sampai Mataram pun selalu ada konspirasi penggulingan kekuasaan dengan memainkan isu yang berhubungan dengan masyarakat. Mereka akan diprovokasi oleh seseorang, diberi uang untuk melawan, diberi banyak banyak pilihan dan selalu ada masyarakat yang termakan isu dan akhirnya muncul konflik horizontal.
Masyarakat diberi Asupan Berita yang Berimbang oleh Pers
Masyarakat Wadas saat ini sedang diuji. Kepolosan dan suasana kegotongroyongan desa sedang diuji. Banyak kepentingan yang sengaja membenturkan masyarakat sehingga muncul pro kontra. Wartawan, atau fungsi Jurnalis tentunya bukan hanya menguak fakta satu sisi namun harus bisa memberikan literasi tepat agar tidak dimanfaatkan untuk memecah belah warga.
Kalau saya merasa harus hati-hati berpendapat, tidak bisa menyalahkan masyarakat dan juga pemerintah. Berbeda ketika kasus dulu di waduk Kedung Ombo, Gus Dur, Romo Mangunwijaya sampai turun untuk melawan kebijakan Orde Baru. Mereka melihat ada sisi kemanusiaan yang dilanggar, ada banyak keganjilan hingga rohaniwan perlu turun membantu masyarakat mendapatkan keadilan. Saat ini eranya berbeda transparansi, gencarnya media sosial, jurnalisme warga, komentar- komentar netizen bersinggungan. Berita yang benar- benar obyektif kalah tenggelam dalam suara- suara keras media sosial. Semakin carut marut karena saat ini ada keterbelahan terutama misalnya antara kampret dan kecebong, antara kadrun dan kaum nasionalis.
Semoga Pers Indonesia tetap menjadi corong bagi keadilan dan keberimbangan informasi, tidak malah menjadi penyokong konflik dan media yang cenderung dipolitisir oleh mafia, pengusaha hitam, atau politisi yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan partainya semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H