Kembali Sarmin memperhatikan Lelaki berbadan tegap itu.
"Ya barangkali ia memang sedang latihan teater di situ, biasa khan tempat ini dijadikan gladi bagi orang-orang yang ingin mendalami peran. Kalau bertingkah edan memang siapa yang memperhatikan, paling semut, eh kerang-kerang yang merambat pelan di pantai saja."
Saking penasarannya Sarmin maju, ia pengin melihat apa sih yang dikerjakan orang itu. Dengan berat Sarmin menapaki gurun pasir itu. Angin yang besar membuat tubuhnya bergoyang, pun terkadang terpeleset oleh pasir yang dipijak tiba-tiba runtuh. Ia melihat pasir seakan bergerak sendiri, kadang tanpa sadar beberapa butir pasir masuk ke matanya, hingga ia perlu mengucek mata untuk memastikan butiran pasir terlempar dari pupil matanya. Kalau belum keluar rasanya ada yang mengganjal dan perih. Sarmin mengambil botol mineral, dan dituangkan air itu di matanya, supaya butiran pasir ikut terbawa air.
"Hups, berhasil. Perih juga sih terkena butiran pasir. Ingat butiran pasir ingat suara indah dari penyiar radio zaman rikiplik 'butir-butir pasir di laut bersama John Simamora coba ingat-ingat ya pemirsa radio zaman dulu. Hehehe."
Sarmin mendekat dan berhasil berdiri dekat Lelaki itu. Lalu ia mencoba bertanya, meskipun agak sedikit takut juga jika tiba-tiba laki-laki itu memelototi dirinya. Tapi kemudian Sarmin seperti terlihat masa bodoh.
"Ki sanak apa yang sedang kau lakukan."(Ki sanak;seperti dialog dari cerita silat saja)
Lelaki itu menjawab." Eh, memangnya aku pendekar silat kamu panggil kisanak."
"Santai, santai mas bro, lalu saya panggil apa, mas, kang, Mas bro, atau Dab."
"Panggil saja namaku."
"Lah khan aku belum tahu namamu?"
"Semua orang di sini juga tahu."