Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Antara Jonggol dan Jakarta Sebuah Suasana Berbeda yang "Harus" Kami Nikmati

11 Januari 2022   14:47 Diperbarui: 11 Januari 2022   14:48 1030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah Kawasan di Citra Indah City(dokpri)

 Tahun 2021 tepatnya awal April  saya pindah dari Jakarta ke Jonggol, tepatnya di Citra Indah City. Hal ini memungkinkan karena pembelajaran masih dengan cara jarak jauh. Karena suasana pandemi maka nyaman saja. Setiap pagi masih bisa menghirup udara segar, jalan-jalan banyak pohon dekat dengan sawah, meskipun namanya tetap perumahan di sana sini masih bernuansa alam. Untuk diri saya betapa senangnya tinggal di wilayah yang menjauh dari hiruk pikuknya kota yang sepi mungkin hanya pas jam 2 pagi hahaha. Selanjutnya aktivitas orang kota seperti tidak pernah berhenti. 

Lalu lalang motor, berdagang, mencari sesuap nasi.Ruaaarrbiasa metropolitan Jakarta. Tinggal di perumahan di Jonggol ini seperti mengingat ketika dulu sebelum merantau tinggal di kaki pegunungan Merapi dan Merbabu. Pagi pagi jalan kaki, menengok dua gunung perkasa berada di sebelah Timur, melihat Sumbing Sindoro di sebelah Utara, dan melihat deretan pegunungan menoreh di sisi barat. Tidak terasa hampir satu tahun tinggal, meskipun sesekali harus menginap ke Jakarta juga di rumah mertua yang berada di perkampungan padat Pedongkelan Dalam Kapuk Jakarta Barat. 

Pagi-pagi di Jakarta (foto Joko Dwi)
Pagi-pagi di Jakarta (foto Joko Dwi)

Ada dua kultur berbeda selama tinggal di Jakarta dan di Jonggol. Di Jonggol privasi terjaga, anak-anak bisa bebas bermain selama berada di kawasan perumahan. Rumah juga cenderung sepi karena jarang motor lewat kecuali penghuni, satpam atau sesekali penjual keliling. Setelah kerja online ( mengajar ) langsung berasyik masyuk dengan tanaman, Sedangkan di Jakarta tinggal di perkampungan, gang buntu dekat dengan masjid tentunya harus ada toleransi besar, harus selalu kompromi, dan lebih sering mendengar makian ketika pada saat tertentu harus berhenti sebentar di jalan yang akan macet parah jika ada satu dua mobil parkir cukup lama. Sumpah serapah klakson dan motor yang serampangan jalan membuat kemacetan cepat sekali timbul. 

Di Jakarta dan tinggal di perkampungan harus menyediakan recehan ekstra di setiap tikungan, menyediakan uang parkir di tempat tertentu di belakang ruko yang dikelola ormas setempat. Di Jonggol ya namanya perumahan maka kemacetan, keributan hampir tidak pernah merasakan, suara bising klakson. (jarang terjadi, ya iyalah namanya di perumahan hehehe). Tapi saat weekend jalan dari arah Jonggol menunju Jakarta, khususnya transyogi dan Jalan Cibubur Cileulengsi, Dekat Perumahan Grand Nusa Indahnya, macetnya super parah. ( Untungnya karena saya suka kepo, cari jalan alternatif, punya jalan alternatif, katakanlah jalan tikus untuk menghindari kemacetan bila mau pulang lagi ke Jakarta untuk kerja di kantor). 

Antara Jonggol dan Jakarta sebenarnya sama parahnya soal macet, tapi ketika sudah masuk kawasan perumahan suasana nyaman, segar, hijau sangat terasa. Beda dengan Jakarta ketika sekali melangkah keluar gang sudah disambut hiruk pikuk lalu lalang motor, mobil manusia yang tidak pernah sepi. Jakarta seperti hidup tungganglanggang, kalau mau mendapatkan rejeki ya harus kerja keras, kalau malas, ya mengemis saja, meskipun pekerjaan itu tidak layak dilakukan oleh mereka yang sebetulnya badannya masih bugar dan bisa bekerja tanpa menyusahkan orang lain. Jakarta adalah realitas di mana orang desa mencoba peruntungan. 

Bekerja apapun yang penting mendapatkan uang, mau jadi pedagang kaki lima, mau jadi kuli panggul, tukang gali tanah, mencari barang rongsokan selama halal dan kuat mental, ayo saja. jangan salah pengepul besi tua, kolektor barang rongsok juga bisa kaya lho. Yang sedikit berpendidikan misalnya bisa bekerja sebagai pelayan swalayan, Cleanning Servis, atau pekerjaan lain yang sesuai dengan tingkat pendidikannya. Kadang banyak juga pegawai bank banting setir jadi pengepul barang-barang rongsokan. 

Ternyata bagi yang ulet, dari perhitungan ekonomis kadang dalam satu bulan malah melebihi pendapatan teller bank. Di Bank sudah kerja keras, sering lembur, capek luar biasa tapi gajinya masih belum sesuai dengan kerjakerasnya. Untuk mencapai jenjang tinggi, perlu berjuang dan bisa menumbangkan pesaing- pesaing terdekat di antara para pegawai bank. Saling sikut, saling menjatuhnya dan adu strategi untuk bisa promosi jabatan lebih tinggi. Yang mengagetkan sekarang ada selebritis konten kreator, para pengusaha yang main di bisnis Star Up, bekerja sebagai kreasi media dan jualan makanan memanfaatkan kecanggihan media. Mereka bisa dengan cepat menjadi Crazy Rich, masih kinyis-kinyis uangnya sudah ber milyar-milyar. Makanya ada beberapa orang intelektual, ekonom, aktivis politik amat kaget dengan bisnis besar Gibran-Kaesang karena masih mudah kok sudah kaya raya ( maka dengan logika ilmuwan menduga tidak mungkin terjadi kalau tanpa campur tangan presiden, tidak mungkin punya uang segunung kalau tidak melakukan pencucian uang; benarkah? Kebenarannya ya tunggu tindak lanjut KPK apakah akan menindaklanjuti laporan dosen UNJ itu atau hanya menguap karena data- data yang dilaporkan hanya utak-atik gathuk tanpa perlu konfirmasi terlapor ) 

Benarkah Gibran Kaesang Korupsi? Itu tidak perlu dijawab nanti saya buat artikelnya saja ya. Pikir logika yang jernih. Saya sedang melakukan perbandingan suasana antara Jakarta dan Jonggol.Bukan nge gibah hahaha. Karena masih termasuk pelosok ya wajarlah jika Jonggol masih jauh lebih manusiawi dari Jakarta. Makanya setiap weekend kota kecil semacam Jonggolpun diserbu orang Jakarta yang ingin"ngadem" sekedar mendinginkan mesin. Di Citra Indah bisa menikmati deretan kuliner terjangkau yang hadir di setiap kluster. Mau Bakso, Mi ayam, Angkringan, burger, martabak, gudeg, soto Bogor, Lamongan, Surabaya, Semarang. Ada. Mau menyetok makanan frozen food, banyak. Mau nongkrong di kafe kopi kampung atau restoran menengah bergaya barat dan Timur ada. Tenang semua ada asal ada uang dan isi uang virtual, yang tinggal gesek atau pindai lewat barcode. Itulah canggihnya zaman now. Tidak perlu repot keluar rumah, semua bisa diantar.

Bahkan perusahaan kargo, jasa pengiriman, ojek online, go food, siap antar ada. Mau ke Jakarta tetapi malas naik mobil ada feeder Bus yang jalan pagi-pagi sampai ke Grogol, Mau naik kereta terdekat ( Cikarang ) ada transportasi yang mengantarkan sampai stasiun Cikarang. Kalau nyaman kenapa harus tinggal di Jakarta. Ya, kalau saya memutuskan masih tinggal di kawasan padat Cengkareng tiap Senin sampai Jumat, karena anak-anak sementara masih sekolah di Jakarta. Tentu tidak mudah pindah sementara anak- anak masih sekolah. Apalagi sekarang mulai berjalan PTM yang mengharuskan siswa masuk ke sekolah dengan pembelajaran on site.

 Nah,PTM ini yang membuat kami sekeluarga cukup shock. Katakanlah shock culture. Sudah nyaman dengan segala aktivitas di Jonggol dengan bekerja dari rumah, langsung berubah dan menerima kenyataan bahwa suasana sudah mulai berjalan normal, pandemi sudah jauh menyurut, tidak lagi berbahaya. Kalau boleh memilih enak bekerja dari rumah tanpa repot harus tinggal di Jakarta. Boleh saja tapi anak-anak juga dipindahkan di sekolah terdekat. Gubrak! Tidak sesederhana itu Furgoso!

 Nah itulah, sebetulnya PTM sih senang-senang saja tapi tinggal di pelosok itu sudah terlanjur nyaman, dan kini harus menerima kenyataan bahwa PTM telah kembali, jadi harus kembali kompromi. Tinggal di Jakarta saat hari kerja, pulang ke Jonggol saat akhir pekan. Nah itulah. Akhirnya saya pada kesimpulan jalani saja, ada seninya hidup dalam dua suasana. Antara hidup di dalam suasana hiruk pikuk dan kembali menyepi saat Sabtu Minggu. Kalau boleh milih sih bagaimana kalau dibalik. Dua hari di Jakarta, sisanya di Jonggol. Ah Embuh. Hehehe....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun