Kadang konten YouTube, berita-berita di media digambarkan bahwa ada jarak yang memisahkan antara agama satu dengan yang lainnya. Saling melemparkan ujaran kebencian. Bahkan sering melihat tayangan khotbah yang menghujat dan menjelek-jelekkan agama lain. Hegemoni agama mayoritas terhadap minoritas. Muncul banyak aksi intoleran yang mencoreng dahsyatkan ideologi Pancasila. Namun gambaran-gambaran mengerikan tidak selamanya sama dengan dunia nyata dalam pergaulan dengan tetangga.
Saya kebetulan Kristiani, amat respek dengan relasi dengan tetangga. Sebagai tetangga baru di sebuah perumahan di Jonggol (Citra Indah City), kami sekeluarga diundang makan-makan merayakan malam menjelang tahun baru.Â
Sudah tergelar berbagai makanan, mulai dari ingkung ayam kampung, sate ayam, kopi, teh, minuman bersoda. pempek dan segala rupa tergantung tetangga berasal dari mana.
Kami ngobrol seingatnya mengenang kampung halaman, kebiasaan kebiasaan keluarga dan menyinggung budaya masa lalu. Tampak lepas tanpa sekat.Â
Agama kami boleh beda tapi ketika saling menyapa dan bersama menikmati pesta tidak ada secuilpun menyinggung agama. Bahkan mereka sangat mengapresiasi ketika kami menceritakan tentang Natal sesuai iman dan kepercayaan kami sebagai penganut Katolik.
Beda Media Sosial dan Kenyataan
Pada hakikatnya fanatisme yang muncul di media sosial dan sangat ramai jika sudah membahas dan saling sindir, saling memunculkan bola panas bahwa ada banyak masalah menyangkut perbedaan agama.Â
Pada kenyataannya saudara yang muslim yang selalu rajin Sholat lima waktu, rajin tahajud, rajin puasa dan mengaji adalah orang-orang yang mampu membedakan mana fanatik beragama dan sangat biasa bergaul meskipun beda agama.
Ternyata masih banyak orang yang toleran dan saling respek. Sebab menjalani ibadah agama adalah masalah pribadi dan kehidupan bertetangga adalah sisi lain.Â
Tidak ada jarak dan kami gembira karena semalaman merayakan tahun baru dan menikmati kembang api di luar adalah sebuah gambaran bahwa sesungguhnya Indonesia masih boleh tersenyum. Masih banyak orang- orang yang menghargai sesama, bergaul tanpa jarak meskipun beda agama.
Tidak perlu harus bicara toleransi dalam bertetangga. Sebab dalam kenyataannya saat berkumpul dan saling bicara dalam sebuah pertemuan kebersamaan itu bisa memberi tolok ukur bahwa Indonesia baik-baik saja.Â