Melihat polemik kritik masyarakat terhadap pemerintah saat ini, terutama lewat mural, sesungguhnya yang terjadi adalah kebebasan berekspresi masih mendapat tempat luas di ruang publik. Kalau satu dua akhinya mengalami pemberangusan karena berpotensi penghinaan terhadap kepala negara itu karena ada seniman yang terpeleset pola pikirnya, menyasar dan merisak tokoh yang sebetulnya sudah tahan banting, tahan mental ketika mendapat kritik berupa penyerangan pribadi dan fisik.
Coba pernah membaca kata plonga - plongo, si kurus, petugas partai, termasuk pengkritik yang selalu membahas kualitas bahasa Inggris sang presiden. Sebut saja Jokowi selalu masuk dalam daftar bullyan oleh para netizen dan pihak yang " tidak suka" dengan sepak terjangnya. Tidak ada pemimpin yang tidak punya kelemahan. Apapun kelemahan setiap pemimpin akan menjadi ladang gurih untuk dirisak oleh mereka yang hobi merisak dan menghina. Mungkin sebuah kebanggaan bisa menghina.
Bila bicara mural, hampir setiap kota budaya sekarang ini muncul fenomena  untuk menampilkan mural yang khas. Di Yogyakarta, di Bandung, di Solo, Jakarta bahkan kota kecil Muntilan kini dihiasi oleh karya mural. Aneka mural hadir, menambah kuatnya image bahwa masyarakat sesungguhnya haus hiburan, haus wisata visual. Kalau mural digarap dengan penuh penghayatan dengan totalitas imajinasi dan karya yang artistik, toh akan menghasilkan gambar yang fenomenal, menyentuh dan menyenangkan.
Iswanto Yulius nama yang familiar di facebook. Lulusan ISI Yogyakarta mendapat ide menghias Karangwatu Sebuah desa di kota kecil Muntilan di belakang bioskos Arjuna atau seberang Kelenteng Muntilan yang dulunya juga ada bioskop Kartika. Mempunyai ide membuat tembok - tembok karang watu dihiasi oleh mural bertema cerita wayang. Berbagai epos wayang ditampilkan dan digambar. Ia penggagasnya dan membuat sketsa dasar dan pewarnaannya diserahkan oleh warga yang ingin merasakan bagaimana asyiknya merupa, mewarnai hingga mereka puas atas hasil karya mereka. Sang Penggagas Iswanto Yulius, yang bisa membuat patung, lukisan dan sering kebanjiran order menatah wayang dengan warna - warna sungging yang halus dan detail, merasa terpanggil untuk membuat gagasan kampung mural.
Kini karyanya terpajang indah. Bila orang berjalan sepanjang gang di Karangwatu akan terkagum dengan deretan cerita visual tentang wayang. Sudut moral seniman yang terpanggil untuk menaikkan derajad mural ke level lebih tinggi, bukan sekedar banalisme graffiti liar, asal coret serta kesan vandalisme dan liarnya pada seniman jalanan yang cenderung kucing- kucingan dalam menggambar dan melukis. Karya mural itu malah mendapat dukungan khusus dari kepala desa dan kecamatan. Dan kini Karangwatu menjadi salah satu destinasi mural yang paling dicari selain di Bandung, Malang, Solo, Yogyakarta.
Kalau seniman sudah turun gunung, pasti ada karya yang lain daripada yang lain yang bisa ditampilkan. Banyak terobosan membanggakan yang mewarnai jejak kesenian. Kalaupun sekarang satu dua gambar ada yang kurang berkenan dan menjadi polemik karena tragedi pemberangusan, penghapusan atas gambar yang disinyalir merisak simbol negara, senimanlah yang perlu merenung. Sudahkah ia berpikir panjang saat melukis dan menggambar di ruang publik. Apakah pikirannya jernih atau sedang dipenuhi gula - gula kekecewaan oleh sosok yang digambarkannya. Penguasa memang bisa menjadi sasaran kritik, sasaran bullying visual, ditambah dengan aneka pemberitaan provokatif maka gambar yang berkesan merisak itu mendapat komentar beragam dari netizen. Sensitivitas masyarakat terutama yang aktif di media sosial dipicu oleh berlarutnya ujian kehidupan terutama saat ini dengan munculnya wabah covid 19. Dan akibat berbagai ujian yang " mengecewakan " membuat suara suara sumbang datang silih berganti terutama menyangkut kebijaksanaan dan penanganan akan wabah yang terkesan carut marut karena tidak kompakan pemerintah pusat dan daerah dalam mengatasi  ancaman bersama.
Muncullah kritik, muncul beragam pendapat. Para musuh penguasa saat ini memanfaatkan situasi "chaos" dengan memanas - manasi masyarakat dengan tujuan memblow up ketidakbecusan pemerintah, ada yang kurang elok sebetulnya kritik saat ini bukan lagi mempermasalahkan kebijakan tapi lebih jauh  mengarah ke phisik, mengarah ke sosok. Maka sebetulnya kritik itu dibebaskan hanya jika mengarah ke penghinaan terhadap etnis, sosok, penghinaan pada budaya sebaiknya dipikirkan matang - matang.
Seniman yang berwawasan luas tidak akan membuat karya yang akan menjadi blunder. Mereka akan mengkritik tetapi jauh lebih halus, sehingga hanya terkesan tersindir tetapi tidak akan tersinggung oleh sebuah kritik visual.
Penulis jadi ingat beberapa buku koleksi. Buku tentang seni rupa terbitan Gramedia ditulis oleh pengamat seni terkenal Agus Dermawan T, Judulnya Bukit- Bukit Perhatian. Di bagian pertama Agus Dermawan T menyoroti seni rupa dan hubungannya dengan hutan politik.