Tontonan berkualitas dan mencerdaskan saat ini kalah dengan tuntutan rating yang berorientasi pada pendapatan iklan dan tuntutan masyarakat yang menginginkan drama mencekam, yang mengaduk -- aduk emosi. Bukan lagi alur cerita mencerdaskan, penuh edukasi dan tuntunan.
Kadang pula nilai -- nilai agama terlalu dipaksakan diselib diselingi dengan cerita- cerita bombastis yang malah mengajarkan manusia permisif pada perselingkuhan, maraknya mafia dan trik -- trik kejahatan yang terpampang dan menjadi tontonan gratis anak kecil dan ABG. Mereka (anak kecil dan abg) sering menerima cerita- cerita visual tentang kekerasan, kejahatan seksual dan drama- drama rumah tangga yang otomotis mempengaruhi psikologi mereka.
Panjangnya durasi dan tontonan kejar tayang membuat minat belajar menjadi rendah. Namun disamping banyak kekurangan pada sinetron di televisi nasional selalu saja ada kerinduan untuk menonton.Â
Meskipun di depan televisi selalu mulut pemirsa tampak senewen dengan adegan yang kurang logis dan aneh, emosi terhadap tokoh utamanya yang sering digambarkan gampang ditipu karena sosoknya yang terlalu baik, pemaaf, sehingga sering dimanfaatkan oleh tokoh antagonis yang culas dan malah sering beruntung selalu bisa membuli tokoh utamanya.
Sampai ke mana munculnya kualitas dari sinetron nasional. Terasa dilematis karena sebagian besar penonton punya kecenderungan menonton sebagai sarana hiburan, tidak peduli tontonan mendidik atau atau sekedar bombastis. Mereka asyik nonton sambil ditemani camilan juga WA grup untuk membicarakan adegan - adegan sinetron.
Kritikan Sepintas Lalu
Kalau yang mengkritik dan memberi masukan hanya segelintir mana manjur. Memang benar kenyataan kalau dikatakan Menonton Sinetron itu antara benci dan rindu. Benci oleh cerita yang berlarut- larut tidak selesai- selesai... kangen dengan wajah- wajah cantik dan ganteng. Benci oleh logika yang sering tidak masuk akal, kangen oleh lanjutan cerita saat nasib tokohnya berada dalam tekanan dan butuh jawaban apa yang terjadi selanjutnya. Nah bingung khan.Â
Kalau tidak ingin emosional ya tidak usah menonton televisi, cari saja kesibukan yang lain menulis contohnya. Dengan menulis manusia menjadi cerdas karena selalu mengolah rasa dan pikirnya. Apalagi tulisan bisa dibukukan dan disimpan di blog atau dikirimkan ke media sosial dan media mainstream. Pasti sejarah akan mencatat jejak pikiran penulis. Kalau sibuk menonton sinetron kejar tayang kapan produktif berkreasi? Salam Literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H