Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Rebahan di Bumi Pertiwi Berbincang dengan Langit

30 Januari 2021   08:58 Diperbarui: 30 Januari 2021   09:11 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari aku berjalan - jalan di bebukitan hijau, rebahan di rerumputan kering bukit kemuning. Menatap langit dan mengundangnya berbincang tentang kehidupan. Kau menatap tajam hingga keringat membanjir di wajahku, untung matahari segera bersembunyi di balik awan putih keabu - abuan. Sepertinya awan pura- pura mendung, aku hampir mencari tempat teduh bila hujan tiba tiba ingin mencium pertiwi. Ternyata awan berarak itu segera bergerak menjauh sehingga matahari begitu telanjang menatap tubuhku.

Aku ingin berdialog dengan langit. Pada  pagi. siang, senja hingga malam. pagi wajahmu begitu teduh biru dan seperti menyiratkan kedalaman. Aku seperti merasa ada pupil mata di antara birunya langit. Segera khayalanku terbang dan masuk dalam lorong mata berwarna hitam kelam itu. Apakah sebenarnya yang engkau pikirkan langit, kenapa engkau penuh misteri, suatu saat berwarna biru, saat senja rona wajahmu kemerah- merahan sedangkan malam kau hanya menyisakan terang ketika kerlip bintang dan bulan hadir di sisimu. 

Pada birunya langit aku memujamu sebab ada kerinduan untuk mengingat masa - masa penuh keceriaan ketika usia masih belia. Sehabis belajar di sekolah, segera kususuri ibu pertiwi, teriring senyum langit dan pergerakan mega - mega. Begitu bersahabatnya langit membiarkan aku menapaki perdu, pematang, tepi jurang, melompati batu, menyesap ripak kecipak air jernih. Lalu aku rebahan di batu besar sambil menatap penuh cinta langit cerah. Tidak merasakan kegalauan, seakan tanpa dosa meskipun guru sering memarahi aku dan teman - teman karena pulang dan masuk sekolah dalam keadaan basah kuyup keringat dan air sungai.

Segera guru memelintir  rambut. "Awas, kalau kau ulang blangsakan jauh - jauh pada jam istirahat!" Maaf, dengan segala hormatku kami akan tetap pergi kalau ada kesempatan. Entah nakal, atau sekedar menikmati kesunyian, begitulah serasa tipis bedanya. Sehabis sekolah, keluar kelas langsung lari. Kembali menikmati kembara jiwa dalam kebebasan masa kanak - kanak,

Ketika usia semakin matang dan kehidupan tidak seindah masa kanak - kanak. Onak duri sebenarnya muncul dari pergulatan hidup. Ada duri - duri melukai jiwa, menusuk di kejauhan kalbu dan langit tidak bisa berdialog jujur tentang masalah - masalah pelik yang menerpa.

Terkadang muncul tangisan yang membuat langit biru tetaplah hitam, Senja kemerah- merahan tetaplah serasa kelabu karena awan jiwa yang menggelantung. Aku ingin rebahan di ibu pertiwi menikmati masa - masa ketika ruang kebebasan masa kecilku hadir. Ketika merasakan kemarahan petani saat buahnya kupetik tanpa permisi. Aku belum tahu bagaimana perasaan berdosa itu.

Kini ketika uban sudah mulai menguasai kepala,  tubuh semakin cepat lelah dan tulang semakin sering bermasalah. Kaku dan nyeri. Kesempatan rebahan memandang langit serasa, menikmati dialog yang pernah hadir diruang khayalku serasa beda. Ada berbagai ekspresi yang tertumpah, ada keprihatinan yang susah dijabarkan dengan kata- kata, ada air mata yang meleleh tanpa komando dan ada tawa getir yang menyesap bilik ingatan.

Sesekali menikmati langit  berdialog akrab dengannya,  mengurai nestapa yang kadang melintas. Rambut hitam mulai menepi dan birunya langit tidak sanggup menyulapnya menjadi hitam kembali. Hanya hati lapang yang sanggup mengembalikan pesona langit dan berdialog jujur tentang kehidupan.

Jakarta, Di kala Langit mendung 30 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun