Tidak terbayangkan bahwa selama bertahun - tahun dari 27 Januari 2010 saya telah memulai perjalanan menulis. Satu persatu artikel itu dipublikasikan di platform blog Kompasiana. Saat itu saya tidak akan mengira bahwa saya bisa menulis sampai 1000 artikel. Sungguh aku hanya menjalani proses, menjalani passion yang selama ini sebetulnya sudah ku jalani. Kalau semuanya dijumlah artikelku pasti lebih dari seribu. Mungkin sudah sampai 1500 atau 2000. Aku tidak menghitung, tapi kini aku bicara tentang diriku dan Kompasiana. Tentang Kompasiana yang katanya satu atap dengan Kompas. Saya adalah obsesif terhadap Kompas. Dari dulu kepingin sekali artikelku masuk Kompas, tapi keminderanku dan berbagai kegagalan menembus Kompas membuatku jera. Mungkin terlalu susah menembus Kompas. Bukan levelku karena kulihat yang menulis opini adalah mereka yang memang tangguh dan pantang menyerah.
Dengan membaca tidak terasa otakku terisi, meskipun ku tahu aku bukan orang cerdas yang mampu merangkai kata dengan brilian. Aku hanya merasa mengikuti alur. Kadang bisa rutin, kadang muncul kebosanan, dalam beberapa tahun sempat vakum di Kompasiana. Aku mencoba bertualang di platform lain. Namun rasa kangenku terhadap Kompasiana membuat aku kembali. Kembali aktif untuk menulis satu demi satu, tidak bisa setiap hari menulis satu artikel tapi penting bahwa kau tetap konsisten menulis.
Maka seiring berjalannya waktu, ketika tahun demi tahun berlalu dan tidak terasa sudah menapaki tahun ke 6 tujuh delapan sampai sepuluh, artikel terus bertambah. Banyak suka duka selama aku menulis, terkadang bosan, terkadang frustasi ketika jarang sekalipun aku mendapat kesempatan untuk dapat hadiah dari Kompasiana. Dalam setiap lomba menulis aku lebih sering kalah, lebih sering hanya bertepuk tangan untuk orang lain atas kesuksesannya mengumpulkan hadiah dari lomba menulis.
Entah rasanya hokiku di Kompasiana tidak sebagus ketika gabung di blog lain tapi mengapa aku tetap sudah move on, susah berpaling. Aku mulai semangat ketika akhirnya Kompasiana memberiku reward sehingga mendapat tambahan sangu meskipun sebenarnya tidak sebanding dengan pengeluaranku untuk membeli kuota internet, atau kadang mendapat sindiran istri karena terlalu obsesif menulis tapi tidak mendapatkan upah apapun.
Ah, menulis itu bukan sekedar mendapat reward, dari dulu kebanggaan  terbesar adalah ketika aku berhasil menulis dan muncul di koran. Itu sebuah spirit luar biasa. Moment itu pernah kudapat sebelum aku pindah ke Jakarta, ketika kota Yogyakarta mendidikku untuk mengenal budaya dan kebudayaan. Dari situ kesenangan menulisku bertumbuh. Yogya Yogya kata Herry Gendut Janarto.
Aku mencintai menulis dengan segenap hatiku dan segenap jiwaku. Kalaupun tidak terpanggil menjadi guru sebetulnya aku optimis bisa hidup dari ladang menulis, meskipun dulu bayaranku hanya cukup membeli kertas HVS. Tapi proses yang mulai kutapaki itu teredam sebentar ketika aku harus memulai pekerjaan baru sebagai guru. Aku sebetulnya merasa sayang, sebab dulu aku lagi suka - sukanya menulis, lagi sok - sokkan bersepaham dengan dunia teater dan kesenian. Dalam pengangguranku waktu itu aku tetap masih bisa menulis dengan modal mesin ketik, bukan komputer.
Tapi hidup memang harus berjalan dan aku terima bahwa panggilan hidupku menjadi guru. Maka kutapaki profesi guruku, dengan tertatih tatih, namun lama - lama aku mencintai dunia pendidikan yang sempat kuhindari. Pelan pelan aku tetap menyediakan buku tulis, buku besar untuk kucoret coret karena hasrat dan obsesi menulis di koran tetap susah padam.
Aku masih sering tersenyum dengan kliping - kliping tulisanku yang sudah mampir di koran dan majalah. O ternyata aku dulu sempat bercita - cita menjadi penulis tapi takut masa depan suram. Itu menurut orang tuaku. Maka kugunakan ijasahku sebagai sarjana pendidikan seni rupa. Itu modalku untuk menjadi guru, meskipun pada awalnya aku sempat ragu apakah kau bisa menjadi pengajar yang baik, wong kegiatan kuliahku dulu lebih sering dihabiskan di latihan teater dan ikut organisasi bela diri pencak silat.
Aku merasa sebetulnya nyaman menjadi manusia bebas,tidak dalam birokrasi, tidak dalam tekanan pekerjaan dan administrasi. Mungkin menjadi penulis lebih cocok, menjadi seniman lebih tepat ke panggilan jiwa, tapi kehidupan harus berputar. Di Jakarta aku mesti mampu bertahan di tengah gempuran godaan dan peradaban kota yang penuh persaingan dan keji bila tidak mapan
Maka sejak 2001 ketika akhirnya aku mesti hijrah dari sebuah desa yang boleh dikatakan gemah ripah loh jinawi memulai bekerja di gang sempit di petogogan, ikut bersama om saya, menyusur gang gang tikus menuju arah Tendean jalan kaki dari petogogan dan mencegat bis yang menuju arah Kelapa Gading pada banjir besar sekitar 2002 aku mesti bertahan setiap hari menerjang banjir, berganti baju di Masjid dan mengajar dengan Dari Jakarta Selatan ke Jakarta Utara. Kalau masalah banjir sudah kenyang, bahkan berjalan di kedalaman banjir seleher pernah karena terpaksa untuk bisa tetap bekerja.
Dari Jakarta akhirnya aku sadar bahwa gempuran kehidupan, kesulitan itu harus dilalui, tidak dihindari. Bahwa aku masih sering menghindari masalah, pasti ada tapi dari Jakarta aku belajar hidup bagaimana terus menjalani pasang surut kehidupan dengan sedikit mengeluh. Demikian dengan menulis, tulis saja apa yang bisa ditulis, lihat saja apa yang bisa dijadikan tulisan karena di Jakarta semuanya tersedia, termasuk bahan mentah artikel. Dari proses panjang menulis aku jadi merasa mendapatkan satu dua tips terutama kepada para penulis yang tengah berbinar dan bersemangat menulis begini:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!