Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara "Nurani" Burung

12 Desember 2020   07:23 Diperbarui: 12 Desember 2020   07:29 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar burung deformasi (Ilustrasi Oleh Joko Dwie)

Telingaku tidak pelak, rindu mendengar ocehan burung -- burung berkicau. Sejak di kota aku selalu mendengar ocehan burung di dalam kurungan. Mereka terus bersuara, terus berkicau, namun kicauan burung itu berbeda dengan kicauan burung yang terbang bebas dari ranting ke ranting - dari pohon ke pohon, dari lintasan sawah, ladang dan ngarai.

Suara mereka sangat indah karena menyuarakan kebebasan. Terbang dengan sayapnya tanpa batas. Beda dengan burung kota yang terkerangkeng kandang. Meskipun terjamin makan dan selalu dimandikan serta dijemur siapakah yang menjamin bahwa kicauan - kicauan mereka mencerminkan kebebasan. Saya kira mereka menangis dalam cericitnya yang penuh harap dapat bebas dari kurungan yang mengerangkengnya sepanjang hari. Bahkan meskipun  sering ikut festival burung dan menang lomba berkicau apakah ada jaminan bahwa syair dan nyanyian yang mereka lantunkan adalah suara kebebasan.

Tapi ketika mereka bisa terbang bebas di antara beton di kota tidak menjamin juga akan aman. Sebab mata - mata jalang akan selalu mengamati terbangmu dan saat kau lengah akan disergap dan dimasukkan sangkar bahkan menjadi asupan makan siang para pemburu burung liar. Jadi meskipun bebas terbang perasaan was - was para burung tetap lebih besar daripada suara kebebasan yang terdengar dalam kicauan mereka.

Burung -- burung itu tersadar bahwa banyak manusia begitu sibuknya menghitung receh - demi receh. Apalagi di masa sulit pandemi ini lebih nyaman mendengar burung yang mereka rawat sepanjang hari daripada mendengar dentam ancaman wabah corona yang hampir tiap hari memakan korban. Burung - burung itu melihat wajah muram tuannya. Mereka mulai kehilangan rasa, mulai kehilangan semangat hidup. Sampai kapan kebebasan mereka terus dikerangkeng sebentuk benda penutup mulut, harus selalu mencuci tangan dan menjaga jarak antar manusia.

Aturan protokoler pun bukti bahwa semakin hari kemerdekaan manusia semakin dipertaruhkan. Manusia dan burungpun hampir mirip sama - sama terpenjara. Tidak lagi bebas bicara, tidak bisa terbang hinggap dari satu tempat ke tempat yang lain. Senyum dipaksakan supaya mereka tidak semakin menderita karena stres dan tekanan batin.

Resah burung saat berkicau di kandang sama persis dengan suara hati manusia saat ini yang seperti terpasung di rumah. Menanti sebuah harapan yang tidak pasti - pasti. Lalu bagaimana bisa memaknai kebebasan, memaknai merdunya suara hati dan kicauan lantang jika sepanjang hari selalu terancam oleh cerita - cerita simpang siur tentang betapa manusia lebih banyak mendengarkan berita bohong daripada berita yang benar- benar nyata. Sementara banyak penulis  sering menulis karena ada orang - orang untuk mengupahnya membuat kata - kata pujian sementara hati penulis sendiri sering berontak karena tidak sesuai hati nuraninya sendiri.

Suara burung di pematang sawah dan ladang jauh lebih merdu meskipun dihadapkan pada suara burung pemenang lomba berkicau. Merdunya pemenang lomba karena terlatih dan diberi asupan gisi lebih dari cukup, tapi tahukan nurani para burung itu yang berontak karena  hanya hidup dalam kandang sepanjang hayatnya. 

Meskipun dihargai selangit namun ia tetaplah burung yang tersandera. Jadi lebih nyaman bercengkerama dengan langit biru di alam lepas meskipun dengan asupan makanan sederhana. Dan manusiapun merasakan yang sama merindukan kebebasan kembali setelah selama setahun menderita oleh aturan - aturan yang membuat stres dan bosan terkungkung di rumah menunggu kepastian alam kembali ramah kepadanya dan kembali bercengkerama dengan banyak orang tanpa merasa ketakutan akan terjangkit wabah virus yang mengerikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun