Kenthir mana para petinggi yang pada awalnya berapi - api pidato untuk memberantas korupsi ternyata hanya sampai di mulut, di kesempatan lain ia tercokok dan menjadi pesakitan dan memakai baju oranye karena kasus korupsi. Kenthir mana Affandi yang dengan santainya dilukis telanjang oleh anaknya yang juga pelukis, dibandingkan Edi Tanzil yang sampai sekarang belum juga ketemu.
Karena kasus besar mega korupsi dan penggelapan uang yang tidak main - main. Affandi melukis dengan segenap jiwanya bahkan seluruh tubuhnya bergerak, tangan bisa menjadi kuas, kaos bisa menjadi pisau paletnya untuk mengungkapkan kekuatan seninya sehingga menjadikan dia sebagai seorang maestro di tanah air dan diakui di dunia internasional.
Menikmati keindahan seni entah lukis, teater, musik, nyanyian jauh lebih menenangkan daripada melihat kekenthiran para pejabat negara yang menyelewengkan kepercayaan rakyat, melakukan megakorupsi di tengah masyarakat yang sedang terpuruk karena pandemi.
Coba saja ajak ngobrol para seniman dalam obrolan santainya pasti akan keluar falsafah kehidupan yang jauh lebih mengagumkan daripada mereka yang tampaknya sukses dalam karier namun akhirnya berakhir masuk bui karena telah berprestasi menyisihkan uang rakyat untuk kepentingan sendiri dan kroninya.
Kadang - kadang saat menulis seperti ini atau sedang melukis saya sering sekali mendapat cobaan, ketika dipanggil istri dan diminta mengantar belanja. Padahal sedang suntuk menulis atau melukis.
"Siap Bu..."
Giliran kuncinya ketlingsut, atau lupa menaruhnya jadi blingsatan sendiri karena setengah jam baru ketemu. Ternyata oh ternyata saya menaruh kuncinya hanya ketutup oleh tisu. Dan ketika tisu melayang, kuncinya pun nongol di tempat yang sudah saya udak udah setengah jam. Duh ternyata kenthirmu nyata Pak Dhe. Hehehe. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H