Saya tumbuh dan mencintai dunia seni berawal karena suka berkhayal. Sejak SD buku tulis sudah lusuh kebanyakan gambar. Bukan karena pintar menggambar sebetulnya namun lebih pada satu kegemaran saya yaitu berimajinasi dan berkhayal.
Ketika tumbuh besar daya khayalan saya bertumbuh, seiring kesukaan dalam menggambar saya memutuskan sekolah di jurusan seni rupa. Apakah terlalu berani belajar di tempat di mana banyak teman yang jago menggambar?Â
Ah, Setiap orang sebetulnya mempunyai talenta yang hampir sama. Karena diterima di jurusan seni rupa tentunya dosen sudah mempertimbangkan kemungkinan potensi bakat dan minat. Namun pada akhirnya kuncinya ada pada orang per orang. Siapa yang tekun, siapa yang berjuang lebih keras, bekerja lebih giat, berlatih lebih banyak dialah yang bisa mengambil hikmah dari pembelajaran.
Terus terang saya cukup terlambat menyadari arti kerja keras itu. Dunia saya terpecah, dengan berbagai keinginan, hasrat seni saya yang menyukai dunia peran (Teater, musik) meskipun hanya sedikit -- sedikit saya bisa memainkan gitar, ukulele/cuk, harmonica, seruling dan yang terakhir adalah dunia membaca dan menulis.
Saya seperti digiring dalam minat yang terbelah dan akhirnya saya hampir terdepak dari kampus karena kebanyakan kegiatan yang hanya menggiring khayalan tanpa aksi nyata. Pada akhirnya kecenderungan saya adalah dunia menulis, meskipun sesekali waktu masih suka menggambar. Teman- temanku sudah melesat, menemukan dirinya dari jurusan yang mereka pilih, sedangkan saya masih terjebak dalam dunia khayalan.
Melukis itu bukan satu - satunya dunia saya, ia harus berdampingan dengan hasrat lainnya yaitu menulis. Dari kegemaran saya membaca maka saya lebih asyik masyuk dalam dunia menulis, sedangkan melukis kutinggalkan, meskipun saya masih rajin untuk menggambar dengan tinta untuk menuntaskan khayalan visual saya dengan menyediakan kertas kosong dan kugambar khayalan yang sebetulnya adalah bagian dari melukis. Bukannya melukis itu representasi jiwa kethok kata S, Sudjojono.
Dosen saya mungkin dulu sempat geleng - geleng, melihat mahasiswanya harus menempuh usaha digaris akhir, terseok - seok hingga akhirnya memang lulus. Penyesalan itu datang belakangan, namun hidup itu terus berjalan, setiap orang melangkah lewat usahanya dan semangatnya untuk menjalani kehidupan. Dan pada akhirnya manusia mempunyai jalan sendiri untuk menemukan kebahagiaan, dan juga harus pelan - pelan dan hati - hati meniti jembatan penuh misteri yang tidak diketahui apa endingnya di seberang sana.
Kini separuhnya paling tidak saya bisa tersenyum. Ternyata saya bisa menulis novel, bisa mengumpulkan tulisan menjadi buku. Dan tentunya masih bermimpi untuk menjadi lebih terkenal, seperti yang didambakan semua penulis, pengarang. Bukan berarti terkenal untuk bisa sombong tapi paling tidak, menjadi lebih percaya diri bahwa pikiran saya masih bisa dinikmati orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H