Mengapa saya membuat judul, tentang Kompas, Kompasiana, dan Jakob Oetama?
Apakah ingin agar tulisan saya terkerek karena bicara tentang Kompas, dan juga tentang Kompasiana sebagai media untuk mengekspresikan hasrat menulis, tidak peduli dibayar atau tidak?
Ataukah saya mencoba bergaya kenal dengan sosok pendiri Kompas itu? Pernah dekat secara fisik dengan Pak Jakob? Atau hanya mengenalnya lewat Kompas, dengan tajuk rencananya dan artikel- artikel kompasnya yang berkualitas?
Yang saya ingat dari motto Kompas dalam bahasa latin Fortiter in Re suaviter in modo, Tegas dalam prinsip namun luwes dalam cara mencapainya. Itulah.
Setiap membaca kompas saya katakan tulisannya tidak pernah bergaya frontal, melawan. Bahasa Kompas itu lembut tapi jika merasakan benar sebetulnya menohok. Itulah gaya Kompas.
Saya mengikuti dan sering membaca koran Kompas sejak SMA. Sering beli di terminal, ketika pulang sekolah.
Meskipun terkesan berat artikelnya tetapi sebetulnya saya suka dengan bahasanya yang bijak. Sama sebetulnya seperti saya yang cenderung tidak meledak- ledak dalam menulis. Malah gaya Kompas itu yang menjadi panutan saya.
Sayangnya untuk menembus Kompas susahnya minta ampun, sampai sekarang susah dan belum pernah ada satu artikelpun yang dimuat di halaman opini.
Akhirnya saya seperti menyerah dan kendor tidak lagi ngotot pengin menulis di Kompas, cukup saya menikmatinya, membaca tulisan-tulisannya terutama koran Sabtu Minggu. Sampai sekarang saya masih membeli koran Kompas Sabtu Minggu kalau hari biasa cukuplah membaca di kantor (itu sebelum covid-19).
Ketika saya berumur sekitar 8 tahun saya pernah menemukan Intisari di laci lemari. Itu peninggalan kakek yang rajin membaca, Tulisan di Intisari itu everlasting. Mau dibaca kapanpun rasanya tetap aktual.
Yang saya sukai itu di artikel kriminal, kasus, kasus kejahatan dengan modus yang luar biasa beratnya. Rasanya ada perasaan teraduk aduk sambil penasaran bagaimana ending cerita dari cerita kriminal tersebut.