Penulis tidak sedang dalam kapasitas menanyakan kontribusi gubernur, atau sedang mengeluh pada pemimpin Jakarta. Dibanding saya jelas ia lebih kapabel, lebih cerdas, lebih pintar. Penulis sendiri merasa tidak akan berdaya jika seandainya didapuk menjadi gubernur Jakarta.Â
Persoalan Jakarta memang sungguh amazing. Perlu ketangguhan agar bisa dicintai oleh masyarakat Jakarta yang majemuk. Kadang perlu kasar seperti Ahok agar sekumpulan mafia dan preman Jakarta agak keder. Tapi dititahi gubernur yang galak pada preman dan tegas bak macan orang-orang Jakarta malah membuangnya.Â
Pilihan gubernur jadi terasa seperti ajang kirim isu dan saling lontar ejekan dan akhirnya sang gubernur incumbent pun akhirnya tersingkir oleh banyaknya intrik seputar pelecehan dan penistaan agama. Itu senjata yang ampuh untuk sosok gubernur kontroversial yang telah mengganggu kenyamanan orang-orang di balik layar, penguasa sebenarnya dari ibu kota negara.
Jakarta memang penuh cerita dan susah mengukur tingkat keloyalan masyarakatnya karena orientasi utama masyarakat yang sebagian pendatang adalah uang, uang dan uang.Â
Jakarta itu menyenangkan jika mampu gigih dan kerja keras mengumpulkan uang. Apapun bisa jadi uang, bahkan menjadi jurgan sampahpun bisa kaya raya. Ada yang lebih enak, Orang yang berprofesi sebagai pengemis, eh ternyata dibalik compang- campingnya dia ternyata ada yang sampai punya rumah bagus dan mobil. Warbiasa!
Anies tentu sudah berusaha menjadi gubernur yang baik, namun jika ada yang masih menyangsikan, itu pendapat mereka. Mungkin mereka punya bukti bahwa Gubernur Jakarta yang pernah menjadi rektor termuda itu lebih pas sebagai rektor daripada politisi yang penuh aneka jebakan.
Jakarta itu unik, ibu kota negara dengan tingkat kemacetan yang sangat tinggi, tingkat polusi yang mungkin hampir sama dengan kota Mexico, kota terpadat dengan tingkat hunian yang tinggi pula. Para pendatangnya yang tentu saja lebih banyak dari penduduk aslinya.Â
Tentu saja isi kepala orang-orang berbeda-beda. Karena berasal dari etnis, suku, bahasa, agama yang berbeda maka tidak mudah mengatur dengan satu jalur pendekatan. Ada yang bisa ditegur dengan cara halus dan sopan, ada yang menurut setelah dibentak dan dimaki-maki. Ada yang diperlakukan bak Sultan baru tunduk, ada yang harus ditempeleng dulu baru kapok.
Jakarta itu warbiasa mas bro... dab kata orang Jogja...menurut Mas Butet oasuwok... sontoloyo kata pekebun atau peternak...Bujugbuneng...
Tidak semua orang Jakarta hanya ditegur dengan tersenyum lantas mau tunduk, seperti filosofi orang jawa yang biasanya diam, manut atau mati setelah dipangku.Â
Jakarta itu multietnis, jika ada orang yang melontarkan wacana atau isu isu tentang sukuisme, tentang keyakinan, tentang sentimen kedaerahan ya akan menjadi bom waktu, sebab hampir semua suka ada di Jakarta, hampir segala etnis ada dan saling berinteraksi. Kalau memainkan sentimen agama, kedaerahan, perbedaan bahasa ya salah sasaran.