Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Tepi Sungai Serayu dan Kisah-kisah Pilu Anak Panti Asuhan

28 Juli 2020   11:48 Diperbarui: 28 Juli 2020   11:56 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau menyebut kata-kata di tepinya sungai Serayu saya jadi ingat  lagu keroncong legendaris dengan judul sama yaitu di Tepinya Sungai Serayu karangan Raden Soeteja Purwodibroto. Sungai terkenal di Jawa Tengah bagian barat Selatan,di sekitar Wonosobo, Banjarnegara dan Banyumas dan berujung ke laut Hindia di wilayah Cilacap. 

Sungai besar itu sudah menjadi cerita tersendiri bagi masyarakat Banyumas. Saya beberapa kali melewati Serayu, kebetulan mempunyai saudara yang tinggalnya sekitar Klampok Banjarnegara, Kalau perjalanan diteruskan akan menuju ke arah Wonosobo, jalannya berkelok -- kelok. Coba simak lagu yang syairnya sungguh mempesona:

...Indah murni alam semesta
Tepi sungai serayu
Sungai pujaan bapak tani
Menghibur hati rindu

Di tepi Serayu itu muncul kisah yang mirip seperti sinetron. Kisah pilu anak yang tidak mendapat kasih sayang orang tuanya secara utuh, sengaja dititipkan. Ada orang tua yang tidak sanggup memelihara karena persoalan ekonomi, akibat menikah siri, akibat pergaulan bebas orang tuanya sehingga mereka tidak siap menjadi orang tua.

Akar Persoalan Tingginya Pernikahan Usia Muda dan KDRT

Persoalan menikah muda dan tanggung jawab berkeluarga menjadi masalah tersendiri di masyarakat berkembang saat ini. Akhirnya anak kecil tidak berdosa menjadi korbannya. Menjadi korban dari orang tua yang hanya suka saat pacaran dan melakukan hubungan pergaulan bebas namun ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa akhirnya seorang ibu muda hamil kemudian melahirkan mereka tidak siap mental untuk memelihara anak dari buah cintanya tersebut.

Tragedi kehidupan itu menjadi semakin pilu melihat mereka yang manis dan imut - imut harus jauh dari orang tuanya. Hidup bersama orang tua asuh, bisa diistilahkan Bude - budenya untuk lebih memberi penekanan bahwa masih ada saudara yang peduli terhadap nasib pilu ditinggalkan orang tua di sebuah panti asuhan.

Di Tepi Serayu ada sebuah panti Asuhan yang dikelola oleh Konggregasi susteran SJMJ (Suster Jesus Maria Joseph) pimpinan Suster Agnes Marni SJMJ. Ada sekitar 31 anak dari berbagai usia dari bayi sampai usia kelas menengah. Atas gagasan Almarhum Mgr. Julianus Sunarka, SJ berdirilah panti sekitar tahun 2011.

Para penghuni panti seperti yang sudah saya jelaskan adalah anak-anak korban dari ketidaksiapan orang tua menjamin masa depan anak, korban dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Latar belakang keluarganya beragam ada yang berasal dari keluarga tidak mampu maupun mereka yang tidak siap mempunyai anak karena alasan ingin meneruskan kuliah.

Akar masalah dari munculnya anak - anak "terlantar" antara lain akibat kemajuan zaman dan berbagai kemudahan akses informasi dan internet muncul pergaulan bebas ini memicu kehamilan di luar nikah. 

Kompas 10/3/2018 menulis "Pencegahan Belum ke Akar Persoalan". Menurut data angka perkawinan usia anak masih tinggi. Indonesia ada di peringkat ketujuh dunia. 

Secara global berdasarkan data dari UNICEF pada tahun 2018, sekitar 12 Juta anak perempuan menikah sebelum genap berusia 18 tahun/ Indonesia sendiri menurut data Badan Pusat Statistik 2016 mencatat persentasi perempuan usia 20 - 24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun ada sekitar 20%. Salah satu pemicu pernikahan dini atau pernikahan dibawah umur adalah kemiskinan.

Perkawinan Usia muda rentan menyebabkan perceraian, sistem reproduksi yang belum matang, kematian bayi dan ibu anak serta hambatan psikologi remaja yang siap dan belum matang dalam berumah tangga.

Luka bathin menjadi beban dari anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya. Ini terasa di Panti Asuhan Bunda Serayu. Para penulis yang kebetulan banyak dari kalangan Jurnalis lokal (sekitar Purwokerto dan Banyumas) mencoba menggambarkan betapa banyak dukanya menjadi anak panti. Mereka merasa disingkirkan, merasa disisihkan dari keluarganya). 

Penggambaran kisah-kisah anak Panti di buku di tepi Sungai Serayu Aku Merindu. Perjuangan, Harapan, dan Doa Anak-Anak Panti Asuhan Bunda Serayu begitu menyentuh rasa hingga tidak terasa membaca kisah dalam buku ini air mata menetes.

Isi bagian buku berisi kisah suka duka anak panti asuhan (dokumen pribadi)
Isi bagian buku berisi kisah suka duka anak panti asuhan (dokumen pribadi)
Sedih rasanya melihat generasi penerus yang harus hidup di asrama, di panti tanpa sentuhan kasih sayang utuh orang tuanya. Kalau tidak siap melahirkan kenapa mereka bebas bergaul atau memaksa diri menikah hingga ujung- ujungnya anak kemudian disisihkan karena mereka malu mempunyai anak. 

Anak-anak tidak berdosa itu lantas bertanya-tanya. Mengapa aku harus dititipkan di panti asuhan, apa dosaku. Saudara Wilibrordus Megandika Wicaksono dan teman- temannya dari kalangan jurnalis menuliskan kegalauan anak - anak panti tersebut dalam cuplikan-cuplikan cerita sederhana.

Cerita Yang Menyentuh

Cerita-cerita tentang anak-anak panti asuhan itu begitu menyentuh. Dalam buku setebal 120 halaman termasuk gambar- gambar karya anak panti. 

Terbagi dalam beberapa bagian Bagian pertama adalah sambutan Sambutan dari pengelola dalam hal ini Suster Agnes Marni menulis sekelumit kisah menyentuh saat mengelola panti asuhan yang letaknya di tepian sungai Serayu. 

Juga beberapa dari kalangan akademisi Universitas Soedirman Purwokerto Dr. Tri Wuryaningsih,M.Si , USkup Purwokerto Mgr. Christophorus Tri Harsono, Pastor Paroki  Santa Maria Immaculata, Banyumas.

Bagian yang menjadi inti adalah Kisah-kisah cerita yang ditulis oleh Wilibrordus Megandika Wicaksono bersama para jurnalis seperti Alfiatin, Puji Purwanto, Ari Nugroho, Permata Putra Sejati, Dian Aprilia, Fadlan Mukhtar Zain. 

Bagian satu tentang anak balita. Bagian kedua kisah anak usia SD, Bagian ketiga anak  remaja SMP dan bagian keempat cerita dan penuturan anak anak panti yang sudah bersekolah di SMK.

gambar atau lukisan anak panti asuhan. (foto by Joko Dwi)
gambar atau lukisan anak panti asuhan. (foto by Joko Dwi)
Di bagian lain juga dimunculkan kisah para pengasuh yang telah setia mendampingi para anak panti asuhan. Lembaran buku ini ditutup dengan kary-karya lukis anak-anak panti. 

Kepedulian Willibrordus Megandika (Jurnalis Kompas sejak 2013) dan teman-temannya menjadi sebuah catatan tersendiri di kalangan jurnalis. Ini menjadi semacam rekaman jejak kepedulian sosial. Sementara di berbagai media saat ini terutama media sosial telah menjadi ajang perdebatan dan persebaran ujaran kebencian dan melupakan toleransi.

Salut Atas Kepedulian pada Jurnalis Muda

Wilibrordus dan kawan-kawannya yang datang dari para jurnalis  terus memelihara rasa untuk peduli pada sesama yang menderita dan kurang mendapat perhatian. Tulisan yang diterbitkan  PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2020 ini layak anda baca. 

Siapa tahu para pembaca menjadi lebih perhatian pada nasib anak-anak yang ada di panti asuhan di manapun berada di dekat anda. 

Para Jurnalis sudah memulai ditunggu buku-buku serupa yang mampu memberikan motivasi dan inspirasi untuk peduli dengan sesama, kebetulan masih dekat-dekat dengan hari anak Nasional. Karena buku ini layak anda miliki. Salam damai selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun