Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Dialog dengan Kesunyian

27 April 2020   09:18 Diperbarui: 27 April 2020   09:12 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
di ketinggian Bukit Panderman (dokumen prbadi)

Tidak ada dialog dengan sunyi, aku hanya dialog dengan remang -- remang

tidak ada waktu yang melambat, aku hanya terlambat mengingat

tidak ada hidup nestapa, aku hanya merasakan kesenyapan datang

kuingat bulir bulir keringatku membanjir

bersama butiran darah air mataku

mengingatmu rasanya hidup tiba- tiba mencekam

mengingatmu waktu bisa begitu lambat, padahal tidak ada waktu yang melambat,

yang ada aku hanya terpukau pada sepinya hari hariku.

Sudah lama aku tidak berdialog dengan sunyi.

hidup di kota yang pikuk hatiku terasa penuh adrenalin.

sepanjang hari mendengar lolongan kejahatan dan simbah darah kekejian

peluh membanjir ketika mendengar bunyi sirine dari ambulans dan mobil polisi.

Hampir setiap waktu, tanpa jeda dan istirahat

kota tidak pernah sepi, mungkin hati yang menjadi sunyi

kota selalu bergerak meskipun nurani semakin tuli

dan kesunyian itu puncak kerinduan

Sudah lama tidak berdialog dengan kesunyian

merasakan detak dan nadi

merasakan kesiur angin dan suara desis cemara

serta lolongan anjing hutan

Nestapa itu hadir mendengar kata kata penuh cercaan

apakah ini karma karena aku selalu menipu waktu

hingga terbuang sia- sia segala cita- citaku berawal

di hutan dan pusat kesunyian aku banyak menemu sahabat

aku bisa berdialog dengan jengkerik dan kunang- kunang,

merasakan keceriaan dan ketulusan dari makhluk- makhluk polos

yang tidak pernah terpikir menyakiti teman dengan kata- kata

Di kota aku seperti tercabik -- cabik

hingga meradang seluruh kuduk emosiku

banyak manusia merasa penuh kuasa, penuh kekuatan, penuh kepintaran

dan mereka menjadi bagian dari culasnya nurani

hanya memicingkan mata tanda sinis pada kemampuan orang.

Banyak manusia jalang yang jarang mendengar nuraninya

lebih asyik dengan dirinya dan obsesi megahnya

hingga lupa menghargai setiap pencapaian

karena hanya dirinya yang sempurna hingga akhirnya tega mencaci dan merendahkan.

sebegitukah sifat manusia yang cerdas

yang hanya sibuk memuji diri dan abai mencintai kekurangan orang lain.

Sudah lama aku tidak berdialog dengan sunyi, padahal dialah sebenarnya sahabat sejatiku

meski tanpa dialog aku bisa merasakan percakapan  dengannya

dalam kedamaian yang tak terkatakan.

sudah itu saja. Waktu tidak melambat hanya aku yang gagal mengikuti iramanya.

Jakarta, 27 April 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun