Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerpen: Medium Penyampai Makna atau Sekadar Indahnya Kata-kata

3 Maret 2020   15:43 Diperbarui: 3 Maret 2020   16:31 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar dari pemenang cerpen Anugerah Sastra Pena 2008 (dokumen pribadi)

"Sebagian Penulis lebih mementingkan gaya daripada isi :Paulo Cuelho ;The Zahir"

Saya suka cerpen dan sering mengikuti perkembangan cerpen dengan membeli setidaknya 3 koran setiap Minggu untuk sekedar melirik dan mengapresiasi cerpen. Walaupun sudah mengoleksi banyak cerpen koran tetap saja sampai saat ini masih bingung bagaimana menulis cerpen baik dan menarik. Kadang kadang masih terjebak pada penggunaan kata- kata bersayap yang dibuat indah namun minim esensi dan makna.

Banyak perdebatan tentang bagaimana menulis cerpen yang baik. Ada banyak sudut pandang yang tidak sama dari para pakar yang sering mengamati dan mendedah cerpen.

Ketika saya menulis opini ini saya tengah memegang buku  lama. Buku dari penerbit Gramedia dengan Judul 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008. Buku ini boleh jadi saya beli saat ada diskon besar- besaran buku.

Tetapi buku ini bagi saya menarik. Saya bisa belajar dari cerpen para juara. Mengapa bisa terpilih dalam anugerah Sastra Pena Kencana. Tentunya 20 Cerpen itu sudah dipilih juri dengan pertimbangan matang. Ahmat Tohari, Budi Dharma,Sapardi Djoko Damono, Prof. Dr Apsanti Djokosujatmo, Sitok Srengenge, Joko Pinurbo, Jamal. D Rahman.

Mengamati cerpen dan melahapnya saat santai atau saat menunggu bis dan naik KRL. Cerpen yang kebanyakan ditulis kurang dari 11 ribu karakter. Cerpen biasanya dikhususkan untuk membaca dalam sekali duduk. Durasinya kurang lebi 15 menit. Asumsinya naik kendaraan umum biasanya tidak lama hanya sekitar 15 menit, jika kurang  baca lagi cerpen berikutnya. Beda dengan membaca novel yang butuh waktu lama untuk menyelesaikan satu bacaan.

Budi Dharma menyitir pengarang Amerika Serikat abad 19 yaitu Edgar Alan Poe bahwa cerpen harus dibaca "at one sitting" alias sekali duduk. Cerpen tidak mungkin mengangkat masalah yang kompleks, Penokohan dalam cerita Cerpen biasanya tidak lebih dari tiga. Maka jika cerita cerpen ternyata panjang sekali maka bisa dikatakan sebagai novelet.

Sayangnya cerpen sekarang sepi peminatnya. Pembaca jauh lebih sedikit dari artikel- artikel tentang politik dan isu- isu terkini yang menimbulkan penasaran pembacanya. Padahal puisi perlu dibaca untuk memperhalus perasaan dan mempertajam intuisi. Cerpen dengan alur ceritanya yang pendek memilih satu dua tokoh untuk dijadikan obyek.

Bukan untuk menggelontorkan kata- kata indah namun sesungguhnya menyisipkan pesan kemanusiaan, pesan perdamaian, pesan persahabatan hingga manusia yang membacanya lebih peka dalam melihat pergolakan bathin dan persoalan- persoalan manusia yang sangat kompleks.

Dalam lingkup sastra Cerpen adalah bagi penerbit Balai Pustaka lebih dimaksudkan dibaca untuk membunuh waktu. Periode tahun 50 -- an jarang pengarang menulis novel lebih banyak menulis cerpen maka itu tahun- tahun itu menurut pengamat sastra sering dikatakan krisis sastra.

Saat Koran masih jaya. Cerpen menjadi bacaan favorit setiap minggu. Para pembaca menantikan cerpen yang terbit di koran baik daerah maupun nasional. Kini ketika cerpen mengalami senja kala geliat cerpen mengalami kemunduran. Cerpen tampaknya lebih disederhanakan karena pangsa cerpen koran semakin sepi tergantikan oleh sastra gadget.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun