Semua demi satu keyakinan, satu pemahaman yang dipaksakan. Padahal manusia dilahirkan tidak pernah sama pun dengan pemikiran dan pilihan hidupnya. Karena keragaman manusia menjadi kaya, kreatif dan penuh dinamika.Â
Tetapi ada orang dengan memaksa diri membuat orang menjadi sama dalam cara berdialog dengan Tuhan, dengan menghilangkan kesempatan keyakinan lain beribadah secara khusuk dan melakukan kebebasan dalam beribadah ditempatnya sendiri.
Semua karena banyak orang merasa "sok pinter" bermodal keyakinan diri, pintar bicara dan berani manggung. Ia menciptakan peluang untuk diri sendiri, dengan modal ilmu yang ia kantongi ia berkeliling dengan bahasa provokatif yang sedang disukai masyarakat yang tengah galau oleh ekonomi yang sedang lesu, dengan kemalasan yang muncul akibat ingin cepat bahagia dengan jalur cepat tanpa perjuangan, mau bersenang -- senang dengan iming- iming nikmat dunia nikmat surga. Semua dihitung seperti matematika.
Jika melakukan ini maka akan ada imbalan itu, Jika menyumbang sejumlah anu maka akan diperoleh ono. Saya bukan ahli agama dan terus terang tidak cukup cerdas untuk menghafal ayat- ayat dala kitab suci.Â
Dasar saya adalah kepercayaan dan keyakinan bahwa Tuhan selalu hadir disaat sedang mengalami kesulitan dan bersyukur ketika tengah mendapat anugerah dan kebahagiaan. Kadang dan sering lupa bahwa dalam keberuntungan dalam kebahagiaan memuncak saya sejenak lupa untuk berterimakasih kepada yang menciptakan saya di dunia ini.
Kadang sering bertanya bagaimana bisa percaya agama jika ternyata agama menjadi sumber konflik, pemicu utama kebencian. Meskipun saat ini agama tetap menjadi pegangan utama saya, saya mesti harus kritis terhadap sepak terjang pemuka agama yang memanfaatkan kepandaian berbicaranya hanya untuk memprovokasi manusia yang mendengarkan agar membenci manusia lain terutama yang tidak seagama, sekeyakinan yang disebut murtad atau kafir.Â
Mereka adalah manusia kotor yang patut dibenci. Dan manusia diajarkan untuk sombong bahwa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar dan paling suci.
Agak aneh apakah pemuka agama itu saking sibuknya berkotbah tidak sempat berkontemplasi, tidak sempat meneliti diri sendiri apakah ia sudah sempurna sebagai manusia. Manusia tidak sempurna, dan akan selalu penuh kekurangan. Ia mempunyai kelebihan yang bisa dibagi tetapi bisa juga memberi masukan manusia lain untuk saling melengkapi.Â
Kerja sama, harmoni diperlukan agar manusia bisa mendekati sempurna meskipun tidak pernah benar- benar bisa sempurna. Dalam kontemplasi manusia meneliti diri, menjangkau yang tidak terjangkau melihat jauh -- jauh bahwa masih harus selalu menimba ilmu dan pendewasaan diri agar bisa dicontoh manusia lain. Akhlak yang utama adalah keteladanan bukan hanya kata -- kata dari mulut yang kadang menipu. Salam damai Selalu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI