Di Era sekarang ini tradisi dan kearifan lokal seperti meluntur akibat pengaruh politik dan isu- isu tentang agama. Masyarakat terjebak pada pola pemecahbelahan akibat klik- klik politik dan masuknya agama dalam ranah kekuasaan. Masyarakat yang dulunya menjunjung tinggi tradisi, budaya lokal sebagai local wisdom mulai meluntur.Banyak isu isu budaya  tercederai oleh masyarakat yang mengatasnamakan pembela agama.
Ketika tradisi meluntur tatanan sosial berubah drastis
Mereka merusak tatanan kebudayaan dan melunturkan nilai tradisi yang memberikan rasa damai bagai masyarakat meskipun dengan latar belakang keyakinan/ agama, suku, bahasa yang berbeda. Tradisi dalam  masyarakat yang berasal dari rumah sendiri terdesak oleh pengaruh kebudayaan luar yang sangat jauh dengan pendekatan sosial budaya masyarakat timur yang menyatukan manusia, alam semesta dan kebudayaan lokal.
Kasus wacana pemusnahan babi di masyarakat Batak dengan alasan takut terjangkit penyakit hog cholera merupakan contoh nyata banyak pejabat negara tidak memahami tradisi dan kebudayaan setempat, Ada emosi berdasarkan egoisme kekuasaan yang membuat masyarakat berhak marah atas keputusan emosional gubernur Sumatra Utara dalam hal ini Edi Rahmayadi. Media sosialpun kadang menjadi pemicu adanya keresahan masyarakat yang cenderung memviralkan berita hoaks.
 Jika benar,Seharusnya Edi Rahmayadi perlu memahami bahwa tradisi makan babi, beternak babi merupakan warisan tradisi asli masyarakat Batak. Jika menyentuh sensitivitas kesukuan dan kebiasaan masyarakat, harusnya Edi Rahmayadi perlu berdialog dengan para pemuka adat Batak. Jangan sampai tiba- tiba memutuskan untuk memusnahkan babi untuk menghindari virus mematikan dari China tersebut.
Bagaimana peri-kebabian manusia di uji. Jika ribuan, bahkan mungkin jutaan babi dimusnahkan apakah sudah dipikirkan dampaknya termasuk dalam perekonomian di Sumatra Utara. Meskipun masyarakat muslim sangat banyak tetapi tradisi itu sudah ada turun temurun untuk menyatukan suku Batak meskipun berbeda kepercayaan.
Sangat disayangkan jika karena keputusan politik terimbas pada pola kehidupan masyarakat dan tradisinya. Menghilangkan tradisi, kebudayaan sama saja menghilangkan kekayaan non bendawi Indonesia. Jepang saja yang modern dan maju dalam teknologi tidak menghilangkan budaya dan tradisi yang sudah diwariskan turun temurun.
Rasanya sejak muncul organisasi pembela agama, munculnya radikalisme dalam agama banyak ancaman intoleransi dan ancaman perpecahan mengemuka. Penulis ingat jaman dulu ketika masih di kampung. Ketika tradisi masih dijunjung tinggi, ketika ritual- ritual masih rutin dilakukan kebersamaan, toleransi antar agama begitu harmoni. Tidak muncul komentar- komentar pedas menyangkut perbedaan kepercayaan dan agama. Ketika berkumpul dalam sebuah acara budaya masyarakat berbaur tanpa sekat.
Fanatisme dan Sempitnya Cara Pandang Manusia dalam Beragama
Sekarang penulis rasanya pedih sekali melihat banyaknya orang yang berusaha menghalangi agama berkembang, menutup kesempatan untuk menjalankan agama berdasarkan keyakinan masing- masing. Yang muslim membantu pembangunan dan renovasi gereja, yang non muslim sering bertandang ke mushola dan masjid untuk melepas lelah, ikut berhening ria, tidur di teras masjid tanpa masalah.
Sekarang ketika kotbah- kotbah menyinggung tentang kejelekan agama lain, ketika para penceramah tampak arogan melakukan pembenaran diri dan mengutak atik kelemahan agama lain dan hebatnya lagi para pendengarnya juga terpengaruh oleh kotbah berbau SARA hingga pergaulan anak kecil, remaja sampai dewasa seakan muncul sekat antar agama.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!