Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Takdir Gubernur Jakarta pada Era Medsos

1 Februari 2020   22:29 Diperbarui: 3 Februari 2020   07:57 4290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi mengawasi kinerja pemimpin lewat media sosial. (sumber: KOMPAS/HANDINING)

"Menjabat sebagai Gubernur, terutama Jakarta, selalu disorot. Urakan sedikit mendapat reaksi berlebihan, aneh sedikit akan mendapat nyinyiran." 

Menjadi gubernur di daerah rawan banjir di era media sosial mau tidak mau harus menerima cacian warga. Cacian itu dimulai dari lambannya penanganan banjir, tindakan pencegahan yang cenderung terlambat, narasi- narasi, pernyataan dari pemimpin daerah itu yang kurang berkenan.

Masyarakat terutama yang aktif komentar, atau sering menulis tentang kekurangan kelebihan pemimpin ( termasuk saya ) selalu berharap perkataan yang sejuk, mampu menenangkan, mampu memberi solusi cepat untuk mengatasi bencana banjir.

Banyak orang yang sudah terlanjur benci akan selalu menganggap gubernurnya tidak serius menangani bencana, harus selalu diingatkan, harus selalu dinyinyiri agar pemimpin menggerakkan anak buahnya untuk mencegah bencana parah berulang. Setiap rezim pemimpin mempunyai cara tersendiri dalam mengatasi persoalan banjir yang dari zaman Batavia, saat kerajaan Belanda masih menjajah Indonesia.

Yang menjadi sasaran empuk adalah Jakarta, bagaimanapun Jakarta itu Ibu Kota negara. Semua warga pasti mengikuti segala polemik yang muncul dari kota Jakarta tersebut. 

Hampir semua Gubernur (di era media sosial) akan menerima segala cacian, protes, kritik, yang pedas dan mengesalkan. Namun tentu mereka harus sabar menerima cacian bagaimanapun dongkolnya.

Era Jokowi berlanjut ke Ahok lalu Anies Baswedan. Banyak buzzer yang yang rajin memberi kritikan, menuliskan hal- hal jelek tentang gubernur, membuat kritikan berdasarkan opini subyektif. 

Semuanya membuat panas kuping. Era media sosial seperti ingin menunjukkan bahwa manusia yang kelihatan ramah, kelihatan baik, santun ternyata banyak yang mempunyai sikap tak terpuji. 

Mereka ingin memuaskan hasrat untuk bisa memaki- maki dengan bebas, dengan akun- akun kloningan, dengan akun samaran, menyebarkan rasa benci, rasa tidak suka. Hate Speech, terus bergema, berulang- ulang di boom ke media sosial hingga akhirnya membuat sebuah ujaran kebencian akhirnya menjadi sebentuk pembenar.

Sejak pemilihan Gubernur DKI Jakarta suara- suara sumbang masyarakat terus bergema dan gubernur- harus menerima konsekwensi dari cara- cara aneh untuk memenangkan pemilihan kepala daerah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun