Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Lomba Puisi Sudah Terhapus dalam Memori

26 Desember 2019   21:18 Diperbarui: 26 Desember 2019   21:24 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap lomba puisi selalu tampak semangat mengutus waktu untuk mengikuti jejak antusiasnya.

selalu kusediakan ruang sepi dan nestapa dalam sebaris puisi kehidupan

kubaca -- baca puisi Joko Pinurbo puluhan kali

dan kurapal mantra- mantra dari Sutardji Calzoum Bachri

perasaan akan menang dan kurebut semua hadiahnya

Aku merasa bisa terbang dan mencipta puisi

dengan sombong kutularkan informasi ke teman- teman bahwa bulan depan akan kuikuti lomba puisi

memungut kata dari penyair- penyair gemblung,

aku bahkan sok aneh dan sok puitis.

Padahal itu bukan kejujuran seperti tulisan D Sawrawi Imron si penyair Madura itu

aku sedang memainkan gaya orang lain dan bukan murni dari hati nurani sendiri

tetiba lomba sudah di depan mata dan sudah kubuka laptop

malah asyik menulis tentang politik dan taktik begajulan para politisi

Bulsyit juga diriku ini

sudah siap- siap menerima amplop sebagai pemenang lomba puisi

tiba- tiba saja lintasan kata berbelok arah

aku menjadi pengecer kata dan pengemis popularitas

hanya karena hasrat ingin viral

ingin diaku sebagai penulis dengan ribuan pembaca

Ah. Lomba Puisi itu akhirnya hanya khayalan

sementara diriku tetap memberondong kata kadang tanpa makna kadang penuh hasrat dan tiba tiba

merasa makna terasa sunyi tanpa nyawa

aku tidak berhasrat mengikuti lomba.

Puisi yang kucipta itu bukan untuk lomba dan mendapatkan hadiah

puisi  lahir dari buncahan dialog- dialog dengan kayalanku

dan menulis bagiku seperti menyesap makna ketika kemarahan reda,

ketika tangis tidak lagi mengeluarkan air mata dan ketika penyesalan

tinggal menyisakan kegilaan- kegilaan.

Aku tidak lagi berhasrat mengikuti lomba puisi

sebab puisi bukan dilombakan

puisi itu ditulis untuk menutup ketelanjangan yang membodohkan

syair itu ditulis untuk menutup aurat ketidaktahuan

dan dengan puisi aku bisa mencintai makna yang selalu terbata

ketika kupaksa diri untuk mengikuti lomba puisi pesanan

Magelang. 26 Desember 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun