Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Merenungi Ucapan Natal, Peristiwa Uighur, dan Derita Rohingya

21 Desember 2019   17:03 Diperbarui: 23 Desember 2019   19:16 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Kompilasi Sumber:sindonews.com dan internasional.kompas.com

Selalu akan membekas dendam dan masa lalu yang membuat para pemeluk agama ingin menegaskan perbedaan -- perbedaan keyakinan, akan selalu menimbulkan pergesekan, persaingan, ancaman dan ketakutan. Peristiwa pelarangan mengucapkan Selamat Natal oleh beberapa ormas yang takut dengan mengucapkan berarti mengakui mengakui keyakinan agama lain.

Polemik Ucapan Natal 

Sebetulnya apa sih susahnya mengucapkan rasa bahagia karena orang lain sedang bergembira memperingati hari besar agama. Dulu tanpa ada praduga apa-apa umat beragama saling berangkulan, bersalaman untuk mengucapkan ucapan selamat dan berbahagia. Semua bahagia karena ada perasaan tulus untuk saling memuji dan saling respek meskipun beda keyakinan. Keyakinan yang beda itu urusan bathin manusia masing-masing, dan kepercayaan dan keyakinan itu adalah urusan hati.

Kalau manusia tidak terbebani dengan sikap politik, suara-suara kebencian karena beda jalan, Membiarkan orang lain memeluk agama menurut keyakinan dan kepercayaannya biarkan perbedaan itu menjadi simponi indah kehidupan.

Kenapa harus takut mengucapkan Natal karena toh jika imannya kuat akan semakin menguatkan bahwa agama yang dipercayai manusia adalah agama yang damai, tidak pernah mengajarkan kebencian, tidak mengajarkan takut terhadap persaingan kepercayaan.

Orang yang masih sempit paradigmanya terhadap relasi antar agama akan menganggap agama lain ancaman, agama lain saingan dan perlu dihambat agar tidak berkembang.

Ketakutan itu berasal dari manusia yang masih mencari dan terus bertanya dan sedang mencari bentuk keimanannya. Fanatisme itu berasal dari perasaan- perasaan curiga bahwa keyakinan akan mengancam kuantitas agamanya, Bukan kedalaman jiwanya dalam menyelami misteri kehidupan dan kesempurnaan Tuhan.

Yang mayoritas takut minoritas karena merasa terancam dengan agresifitas minoritas dalam mencari taktik dan cara agar semakin berkembang pengikutnya sehingga tidak lagi menjadi minoritas yang sering dianaktirikan. Yang minoritas selalu merasa dianaktirikan, dibedakan kasih sayangnya dan merasa disingkirkan. Dengan diisolasi dan tidak diberi kesempatan untuk bisa merasakan hak-hak yang sama maka muncul dendam, muncul kebencian dan ada pemberontakan atas ketidakadilan yang diterimanya.

Kebetulan kemudian ada latar belakang sejarah mengapa yang mayoritas perlu membatasi gerak gerik minoritas, ada sejarah kelam yang berulang yang membuat kebencian itu terus bersemayam di hatinya. Baginya beda keyakinan apalagi pindah keyakinan itu aib. Dan di negara yang merasa sebagai negara agama maka ancaman kecil harus segera dilenyapkan agar tidak menjadi bom waktu di lain waktu.

Keberadaan agama bukan sebagai penebar kedamaian, penebar kasih sayang, tetapi pada kenyataannya sejak agama ada manusia terus berperang untuk mempertahankan keyakinannya berjuang dan membela agamanya baik dengan kekerasan maupun perang kata- kata.

Yang terjadi sekarang perbedaan keyakinan menjadi bencana kerukunan dengan banyaknya muncul temuan pelarangan ucapan Natal, Pelarangan Merayakan Natal, Pelarangan aktifitas keagamaan sehingga terjadi pelenyapan etnis dan agama tertentu di suatu negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun