Zaman saya masih kecil anak- anak seperti memiliki alam yang dengan bebasnya dijelajahi. Waktu belajar dan waktu bermain masih menyisakan ruang untuk mereka berinteraksi dengan alam terbuka dan berbagai permainan yang menggembirakan. Permainan petak umpet, menyusur sungai, mencari ikan, mencari tantangan dari lekuk liku alam yang masih ramah.
Ruang yang Memberi Kebahagiaan Anak-anak
Saya masih bisa bercerita tentang jenis- jenis ikan yang ada di sungai, saat terluka karena jatuh tidak perlu panik mencari obat merah, kalau ada jenis tanaman yang bisa dengan cepat menghentikan perdarahan maka dengan sigap melakukan pertolongan pertama dengan mencecapnya dan dibalur air liur atau kalau ketemu daun mlanding atau lamtoro bisa juga digunakan. Luka baru juga bisa dicegah agar tidak infeksi dengan diguyuri air yang jernih di pancuran. Itu pengetahuan anak desa seperti saya. Saya tidak punya pengalaman masa kecil di kota, jadi yang saya ceritakan adalah suasana desa.
Handphone belum jamak bahkan telephone rumahpun sampai sekarang tidak punya. Jaringan telephon hanya terbatas sampai kota kecil sedangkan tempat tinggal saya ada di desa. Pengalaman masa kecil di desa memberi saya kenangan betapa senangnya masa kecil saya, senang karena bisa menyatu dengan alam, bisa bergembira dengan permainan- permainan anak- anak yang masih lengkap.Â
Saya beruntung bisa melalui masa kanak- kanak yang seimbang antara menikmati masa bermain- main dan masa- masa memberi dasar karakter kuat hidup dalam kehidupan toleransi yang masih tinggi. Anak- anak benar- benar tidak disibukkan dengan doktrin agama yang radikal. Karena relasi agama didasarkan pada kepercayaan tradisional. Islam, Katolik, dan agama lain merayakan keagamaan tanpa rasa saling curiga. Agama masih menjunjung tinggi tradisi budaya Jawa yang sangat kental dengan animism dinamisme, bukan berarti menyembah berhala, batu dan pepohonan tetapi lebih ke harmoni dengan alam semesta.
Dari pengenalan pengenalan dengan alam saya bisa berfantasi mengolah kata, mengolah rasa memperindah daya estetis jiwa dan menghargai seni budaya. Anak- anak zaman Old "ndeso" seperti saya menjadi lebih peka pada yang namanya unsur- unsur keindahan rasa. Kalau pelajaran menggambar anak- anak spontan menggambar pemandangan alam maka yang digambar adalah dua gunung dengan matahari dengan sawah atau rel kereta api.Â
Anak- anak desa memang sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu dalam pengalaman visualnya. Saya yang tinggal di desa dengan Landscape dua Gunung Merapi dan Merbabu dan sering melihat matahari muncul di tengah- tengah dua gunung itu tentu maklum jika anak- anak SD selalu menggambar pemandangan dengan obyek seperti itu.
Anak- Anak yang Akhirnya Kehilangan ruang dan Kesempatan "Bermain"
Itu zaman dulu, apakah anak- anak sekarang masih mempunyai waktu, apakah mereka masih sempat merenung di pinggiran sawah, menikmati hijaunya dedaunan dan rimbunnya lembah ngarai. Barangkali sudah susah, sebab hari- hari anak- anak sekarang banyak dihabiskan untuk membuka -- buka chanel YouTube, mengunggah game- game terbaru, mencari gambar- gambar artis Korea di Google, atau mencoba berselancar mencari aplikasi HP yang semakin canggih.Â
Bagaimana mereka belajar? Jangan tanyakan mereka bisa demikian cepat memahami bahasa pemrograman, dengan cepat bisa memanfaatkan aplikasi bahkan level remaja sekarang sudah sampai pada penciptaan program, menjadi hacker, mampu membuat error jaringan internet.
Soal kecerdasan dan kesempatan mendapat pengetahuan jelas anak dulu kalah jauh.Zaman saya dulu alam rajin disapa dan diajak berdialog karena hiburannya memang masih seperti itu. televisi masih didominasi TVRI. Sekarang ada banyak stasiun televisi yang bisa menampilkan hiburan- hiburan beragam. Tinggal pilih, kalau bosan ganti saluran. Gitu saja kok repot!