Tahun 2019 adalah tahun ketegangan politik. Ketika proses pemilu berlangsung dari pembentukan koalisi, penentuan Presiden dan Wakil Presiden, kampanye sampai pencoblosan calon Presiden dan Wakil Presiden, caleg serta anggota DPD masyarakat seperti terbelah. Persatuan terganggu oleh robekan- robekan isu, ujaran kebencian, berita hoaks yang memanaskan suasana.
Hoaks dan Ujaran Kebencian Terus Merebak
Elite politik saling melontarkan opini,saling serang dengan munculnya berita- berita yang tidak sesuai kenyataan. Ada beberapa elite politik sengaja memanaskan suasana dengan melontarkan kecurigaan pada lawan politiknya. Isu- isu lama tentang PKI, Asing, Aseng amat marak. Gong memanasnya suasana pemilu muncul ketika ada gerakan 212 dan suasana pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI. Sejak pemilu kada DKI rasanyanya pembelahan mulai nyata. Politik identitas menguat dan peran agama besar dalam penentuan arah politik.
Balutan agama yang kental membuat suasana memanas, apalagi disinyalir muncul peran organisasi radikal, dan bibit ISIS yang ikut menunggangi suasana politik tanah air. Begitu gencarnya politik identitas sampai melibatkan buzzer, netizen pegiat media sosial saling bersautan melontarkan kata- kata yang memanaskan jiwa dan membuat emosi. Seperti berbalas pantun komentar di media sosial  perang seru yang tidak pernah habis. Ngeri rasanya membaca status  facebook, juga komentarnya yang sangat tidak mencerminkan budaya timur yang katanya santun dan ramah.
Umpatan - umpatan penuh kedengkian, makian- makian sadis bahkan bernada ancaman dengan enteng muncul di media sosial. Lama- lama para pengguna gadget, pegiat media sosial terbiasa untuk melontarkan kritikan dengan melewati batas nalar. Jika mengikuti perkembangan media sosial rasanya kain persatuan telah tercabik- cabik. Susah merajut persatuan ketika setiap orang boleh melontarkan sumpah -- serapah.
 Konflik menjadi buntut dari  degradasi sosial, politik dan memanasnya hubungan antar elite hingga muncul isu bahwa Indonesia akan musnah. Muncul wacana referendum setelah tidak menerima kekalahan pada kontestasi Capres dan Wakil Presiden.
Gaung Pancasila Meredup, Media Sosial Memanas
Gaung Pancasila meredup dengan munculnya ujaran kebencian, hoaks sebagai panggung untuk melawan hegemoni pemerintah. Elite politik yang sebenarnya cerdas dan perpendidikan seperti lupa pelajaran Pancasila. Mereka sengaja memanaskan suasana dengan kritik- kritik tajam yang cenderung mengarah ke fisik. Seorang Profesor doctor yang sebetulnya ilmunya tentang negara dan Pancasila sudah "sundul langit" namun praktiknya mereka malah memprovokasi masyarakat untuk hidup dalam konflik.
Kalau melihat perkembangan politik sekarang ini, rasanya hanya orang- orang muda yang bisa diharapkan untuk menggaungkan kembali nilai- nilai dasar Pancasila. Dengan menguatnya identitas berarti ada ancaman pada rajutan Binneka Tunggal Ika yang bermakna berbeda- beda tetapi tetap satu.
Manusia Indonesia boleh berbeda pendapat, berbeda kepercayaan dan agama. Tetapi Masyarakat tidak boleh melupakan patriotisme bela negara. Jangan Sampai Indonesia terbelah dan terpisah- pisah gara- gara referendum, hal yang mula -- mula muncul ketika ada kontestan pemilu tidak terima dirinya kalah lalu menggaungkan referendum yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Pilihan boleh beda, idola boleh beda tetapi saat keputusan hukum mengatakan bahwa Pemenangnya adalah 01 misalnya, Segala persaingan tu sudah usai, yang ada adalah bersama membangun bangsa.
Dalam setiap pertandingan dan kontestasi selalu ada yang menang dan kalah. Seperti layaknya olah raga setiap laga harus ada pemenangnya. Jika kalah ya harus legowo menerima kekalahan. Dengan kekalahan dan kegagalan klub, tim, seseorang harus mau belajar dari kegagalan.
Saatnya Pancasila Kembali Mempersatukan Rakyat
Para Pendiri bangsa ini merumuskan Pancasila tidak mudah. Berat. Mereka harus mengalahkan ego agama, mengalahkan ego suku, etnis, bahasa untuk suksesnya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, telah menyatukan bangsa ini selama hampir 74 Tahun.
Jika elite politik merasa mempunyai jiwa patriot sudahi sengketa, sudahi saling olok mengolok. Segera rajut persatuan dengan selalu berpijak pada Pancasila. Jarum- Jarum Pancasila akan merajut, menyatukan robekan yang membuat persatuan dan kesatuan terpisah.Lambang Negara Garuda Pancasila akan gagah berdiri di barisan paling depan untuk mencegah ormas, ormas, organisasi yang tidak mau mengakui Pancasila sebagai dasar negara.
Indonesia bukan negara agama dengan balutan identitas yang memisahkan. Â Berbeda suku, berbeda agama, berbeda pilihan politik seharusnya dianggap sebagai dinamika bukan ancaman. Kritik dan perdebatan itu wajar tetapi jika sudah mengarah untuk menghina fisik, fanatik, radikal bersikeras memaksa keyakinan ke orang lain harus ditumpas sampai ke akarnya. Tidak ada toleransi kepada mereka yang berusaha mengarahkan negara berubah ideologi karena dasar negara sudah final.
Tidak ada manusia sempurna. Kesempurnaan hanya bisa terjadi jika manusia bisa bekerja sama, saling menyokong untuk kemajuan bersama.