Saya seorang guru, selama belasan tahun hidup bekerja dalam lingkup pendidikan dan sebelumnya sejak lahir di dunia hampir 49 tahun lalu tahu hidup sebagai anak guru, cucu seorang guru dan bahkan buyut sayapun guru.Â
Otomatis sejak penjajahan keluarga saya memang sudah mempunyai "gen" guru. Kakek seorang mantri guru atau katakanlah kepala sekolah zaman Soekarno, Ayah seorang guru, kepala sekolah dan pensiun sebagai pengawas sekolah.Â
Ibu saya juga guru adik saya juga guru, komplit sudah bahwa latar belakang guru memang mendarah daging. Kekayaan terbesar di rumah adalah buku-buku. Untuk itu sejak kecil saya sudah mengenal Kompas dan Intisari. Kakek saya mempunyai buku-buku berbahasa Belanda, nenek saya mahir bahasa Belanda.
Mengingat Tentang Suka duka Orangtua Guru
Kalau saya menulis tentang guru tentu tidak akan sulit, tetapi apakah sebagai anak guru otomatis saya mempunyai bibit sebagai guru yang baik? Saya katakan bahwa saya sebetulnya tidak pernah mempunyai cita-cita sebagai guru.Â
Sejak awal saya mengenal buku dan dari buku itu sudah terbayang saya akan hidup sebagai penulis atau wartawan. Tapi ternyata saya tidak cukup mampu dan mempunyai mental cukup untuk menjadi wartawan.Â
Akhirnya saya kembali terdampar sebagai guru dan saya menikmatinya sampai sekarang. Lalu apa hubungannya dengan judul yang saya buat, "Hoaks, Guru, dan Kegagalan Pendidikan?"
Sejak belajar di IKIP saya sudah merasa bahwa pendidikan guru bukanlah pilihan pertama. Pendidikan guru itu bukan tujuan utama anak SMA atau kejuruan.Â
Alasan pertama karena meskipun pegawai negeri betapa susahnya hidup sebagai guru (Ketika masih kecil bahkan setiap bulan orangtua selalu minus gajinya untuk menanggung utang- utang setiap bulan. Untung saja hidup di desa jadi makan keseharian bisa ditutup dengan hasil pertanian, cukup untuk memenuhi kebutuhan untuk makan sebulan).Â
Guru dengan pekerjaan seabreg tidak bisa mengandalkan gaji untuk makan sehari- hari. Padahal guru adalah pekerjaan yang paling dekat dengan pembentukan karakter, mengarahkan siswa untuk menjadi cerdas bukan hanya cerdas pikiran namun juga cerdas rohani.