Tadi malam dan sampai tadi pagi sampai saat menulis ini mata saya disuguhi oleh aksi - aksi demonstran yang tidak henti- hentinya melempari batu pasukan anti huru - hara. Mereka menganggap perlawanan terhadap aparat adalah sebuah aksi heroik, bisa mengekspresikan emosi, merusak fasilitas umum, membuat warga yang dekat keributan kalang kabut dan takut luar biasa.Â
Mobil- mobil yang parkir di lokasi kerusuhan sudah pasti tidak selamat, entah kaca hancur, bodi rusak, cat mengelupas. Sudah terbayang kerugian yang diderita. Hari itu juga omzet para pedagang, pengusaha  di sekitar M. H. Thamrin turun drastis bahkan malah mengalami banyak kerugian karena hancur oleh aksi anarki para perusuh yang mendompleng demonstran saat menuntut keadilan karena calon presidennya dinyatakan kalah dalam pemilu 2019.
Berkaca pada Peristiwa 1998
Perusuh itu pasti tidak pernah berpikir akibat ulahnya banyak masyarakat menghentikan aktifitasnya, menghindari kemacetan dan tentu saja menghindari resiko atas ulah perusuh yang tidak bertanggungjawab.
Saya jadi teringat ketika peristiwa kelam sekitar tahun 1998. Aksi mahasiswa Jogjakarta yang bergerak dari Kampus Sanata Dharma. Bermula dari gerakan mahasiswa menuntut lengsernya Presiden Soeharto. Situasi sulit muncul ketika krisis moneter melanda dunia dan Indonesia terimbas dari krisis. Bank- bank bangkrut, Properti tidak bergerak dan proyek insfrastrukturpun berhenti.Â
Banyak insinyur dan teknisi- teknisi yang bergerak dalam proyek perumahan menganggur akibat melonjaknya bahan bangunan. Krisis moneter berimbas pada kepercayaan pada pemerintah yang turun drastis. Ketika mahasiswa sudah bergerak maka rangkaian demonstrasi bergelombang segera datang silih berganti. Di Jogjakarta puncak demonstrasi massal terkonsentrasi di Alun -- Alun Utara.
![Tulisan saya tahun 1999 di surat Pembaca Tempo membawa ingatan betapa setiap pemilu selalu muncul peristiwa tidak terduga, mendebarkan karena rawan rusuh(dokumen pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/05/22/p-20161209-115655-5ce55b7395760e1cbd253013.jpg?t=o&v=770)
Dengan sabar sambil waspada mengikuti gerak gerik mahasiswa para polisi tetap tidak bergerak. Demi tugas yang diemban mereka hanya mencoba menutup akses jalan hingga demonstrasi bisa terkendali. Beranjak malam ketika tubuh terasa capek, emosi semakin tidak tertata dan demonstran tetap saja memancing emosi polisi maka pecahlah kerusuhan.Â
Mahasiswa  kucing- kucingan dengan pasukan huru - hara dan akhirnya bentrokan tidak terhindarkan. Mahasiswa berlarian dari gang satu ke gang lain, membawa kerikil, ketapel, batu  batu maju melemparkannya ke polisi.Â
Polisi yang sudah lelah dan capekpun akhirnya tidak sabar dan melayani serangan demi serangan mahasiswa yang terus memancing emosi. Suasana liar tidak terkendali, kendaraan yang berada di dekat arena demonstrasipun hancur lembur, penulis ingat ada korban yang tewas saat bentrokan dengan brimob. Desas desus mewarnai suasana berkabung atas meninggalnya Moses Gatutkaca di dekat kampus Sanata Dharma Jogjakarta.
Emosi yang dipengaruhi Darah Muda