Ramadhan sudah berjalan beberapa hari kemeriahan pagi menjelang Saur dan sore menjelang  buka puasa tampak sekali di Kampung tempat saya tinggal. Cengkareng Timur berdekatan dengan Pedongkelan Kapuk Jakarta Barat. Tradisi ngabuburit dan menyiapkan santapan saur ramai. Tetapi yang tidak kalah meriahnya dan kadang membuat saya bertanya. Apakah perlu?
Anak- anak kecil, hingga ABG suka membuat kejutan bagi perkampungan padat. Apalagi bila melewati jalan gang yang tidak sampai 1 meter jalannya. Ketika suasananya ruwet karena lalu lintas kendaraan yang keluar masuk gang rapat beberapa anak kecil membuat jantung berdebar- debar. Aksi mereka menyalakan petasan (saya namakan 'long emprit atau petasan kecil kecil tapi suaranya keras). Bau bubuk petasan menusuk hidung, kertas dan plastik berserakan.
Petasan dalam Tradisi MasyarakatÂ
 Saya jadi teringat ketika masih tinggal di desa. Dulu kemeriahan petasan di desa saya di daerah Magelang hanya hadir saat lebaran, ketika para pemudik dan warga desa habis menunaikan Salad Ied. Petasan besar terbuat dari kertas bekas digulung- gulung berlapis. Dengan menggunakan bambu yang diserut dan disesuaikan dengan ukuran petasan yang dibuat.
Serutan bambu itu menjadi tempat gulungan kertas yang ketebalannya bisa disesuaikan terserah pembuatnya. Pada lobang bekas serutan bambu setelah dicabut diisi dengan biang petasan atau bubuk mesiu yang baunya luar seperti belerang. Setelah diberi "uceng" (sumbu petasan) atau gulungan kecil kertas berisi bubuk mesiu yang memanjang lobang ditutup rapat- rapat.
Petasan itu diameternya bisa sampai sebesar  bambu apus, panjangnya bisa sampai 15 centimeter dan jika meletus mengerikan seperti bom, keras sekali. Maka ketika ada orang yang menyalakan petasan kuping mesti ditutup karena bunyinya memekakkan telinga. Lebih hati hati kalau "uceng" atau sumbu itu mejan atau tidak menyala lancar. Jangan dekati petasan dulu siapa tahu apinya sudah menjalar ke isi petasan. Sebab dulu banyak korban, bahkan sampai ada yang tewas gara- gara petasan mejan.
Menyalakan petasan tidak ada dalam tradisi Islam.Menurut Sejarahnya tradisi menyalakan petasan berasal dari negeri China. Tradisi itu datang sekitar abad 19. Mula-mula menyalakan petasan itu dipercayai untuk mengusir setan, menakut-nakuti iblis atau mengusir roh jahat.
Petasan diyakini hadir sekitar 2000 tahun yang lalu di Cina. Penyalaan petasan dibawa oleh imigran Cina ke Indonesia. Umumnya mereka datang sendirian tanpa istri. Di  sini (Indonesia mereka mengawini perempuan setempat)  menjadi warga pendatang.
Dilema Petasan di Bulan Ramadan
Saya sendiri sebetulnya tidak nyaman bila anak- anak dan sebagian ABG mengisi ramadhan dengan petasan. Selain boros tentunya sampah berserakan di mana- mana. Apakah kebiasaan menyalakan petasan itu wajib selama menjalankan puasa.
Saya pikir meskipun saya bukan Muslim namun keberadaan Petasan itu bisa dikatakan meresahkan. BIsa jadi tangan terluka, pengguna jalan terluka akibat letusan petasan dan tentu saja jika ada orang yang menderita penyakit jantung bisa kolaps gara- gara bunyi petasan.
Sebetulnya dari dulu sudah ada larangan membunyikan petasan. Namun karena masyarakat Indonesia itu lebih bangga jika melanggar hukum maka larangan itu berlalu begitu saja. Baru ketika ada korban meninggal, polisi, aparat desa atau kampung baru turun tangan.
Menyalakan petasan mungkin mengasyikkan. Anak- anak menjadi lupa waktu  dan mereka bisa melewatkan puasa atau menunggu saur dengan benayak kegiatan. Namun menyalakan petasan itu harusnya diatur. Jangan menyalakan petasan saat orang sedang lelap tertidur, atau menyalakan petasan di kompleks perumahan tetangga.
Anak- anak kampung Pedongkelan dan sekitarnya bahkan melewatkan taraweh dan saur dengan tawuran antar kampung. Setelah menyalakan petasan mereka membuat pancingan kerusuhan hingga terjadi tawuran. Bahkan beberapa tahun lalu ada korban meninggal akibat tawuran massal tersebut.
Puasa harusnya membuat kegiatan menyejukkan, melakukanolah raga ringan yang tidak menguras tenaga dan menyediakan waktu merenung dan mengendalikan pikiran dan nafsu yang liar. Tetapi ketika mereka melakukan tawuran, mengganggu ketertiban umum dengan teror suara apakah itu esensi Ramadan sebenarnya.
Petasan, tawuran dan kegiatan- kegiatan negatif harusnya dihindari. Apalagi mengganggu ketenangan tetangga dan membuat repot karena sampah plastis berceceran di mana- mana.
Menyalakan petasan boleh boleh saja asal bisa menjamin petasan itu tidak sampai mencelakai orang yang sedang melintas. Menyalakan petasan bisa jadi tradisi turun temurun, sebuah kegembiraan, sebuah ekspresi keceriaan, sambil menungga waktu buka tiba, tetapi jika sudah adiktif, lupa waktu dan tidak mau tahu keluhan- keluhan warga tentang bunyi bunyi yang mengganggu.
Saatnya orang tua membantu memberikan pengertian pada anak- anaknya untuk tidak melakukan kegiatan yang mengganggu ketertiban umum. Petasan yang dinyalakan tidak pada waktunya tentu menimbulkan ketidaknyamanan. Maka pemerintah, aparat desa, kampung, ketua RT atau RW harusnya menghimba warganya untuk mengurangi kegiatan anak- anak yang mengganggu ketertiban umum.
Fokusnya menyalakan petasan saat hari raya, tidak setiap hari, sepanjang jam, saat warga lagi istirahat.
Kegiatan Positif Selain Membunyikan Petasan
Ketertiban tentu milik bersama. Jangan sampai karena petasan warga menjadi emosi (marah - marah), gara- gara petasan.Dalam bulan puasa sebaiknya menahan diri dan tidak melakukan kegiatan yang mengganggu ketertiban umum.Remaja bisa belajar di masjid, berdoa bersama atau kreatif saat ngabuburit dengan bermain musik kreatif, atau kegiatan yang bermanfaat lainnya.
Selamat menjalankan ibadah Puasa bagi Umat Islam semoga menjadi berkah buat semua umat manusia . Jangan sampai karena Ramadan suasana kebencian selama pemilu atau membuat hasutan berita hoax yang mencederai kesucian Ramadan. Salam damai Selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H